Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kuliner bukan hanya soal rasa, suasana, atau kualitas makanan.
Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mengapa restoran tua, terkesan klasik atau kuno, tetap ramai meski tampak sederhana?
Aku mampir di sebuah kedai di Taiping, Kota Perak, mungkin terdengar asing bagi banyak orang Indonesia.
Taiping adalah kota tua dengan sisa bangunan kolonial yang masih terasa di setiap sudut.
Deretan kedai dan kopitiam lama yang tetap hidup memberi nuansa khas tersendiri, seperti menyimpan cerita yang menunggu untuk diungkap.
Salah satu pusat keramaiannya adalah Hawker Larut Matang, tempat street food beraneka ragam menggoda selera. Namun, di antara hiruk-pikuk itu, ada sebuah kedai tua yang berdiri lebih dari setengah abad menurut warga lokal.
Kedai itu bernama “Kakak”, kabarnya wajib dicoba.
Dari luar, ruko tampak sederhana. Tidak ada yang mencolok, kecuali panjangnya yang mencapai 30 meter.
Di dalam, meja dan kursi tersusun rapi, seolah menyimpan banyak cerita.
Aroma bakso dan kuetiaw kuah mengepul dari dapur, menyambut setiap pengunjung yang masuk.
Aku pun memesan seporsi, berharap pengalaman setengah abad terasa dalam setiap suapnya.
Rasanya? Lidahku menangkap sesuatu yang berbeda. Kuetiaw kuah terasa lebih ringan dari ekspektasi, mungkin kurang asin bagi standarku.
Lidah orang Taiping barangkali terbiasa dengan rasa yang lebih ringan.
Namun di sini, kuliner menjadi lebih dari sekadar rasa.
Ia adalah cerita, sejarah, dan pengalaman pertemuan antara generasi yang pernah singgah, aroma masa lalu yang menempel, dan kenangan yang tercipta setiap kali seseorang menikmati hidangan.***








إرسال تعليق