Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Entah sudah berapa kali aku ke Hanoi, Vietnam, aku tak ingat lagi.
Rasanya setiap dua tahun sekali aku selalu mampir, seolah ada sesuatu yang membuatku harus kembali.
Kenapa? Aku pun tak tahu.
Barangkali karena kopi telurnya yang hangat, semangkuk pho yang harum, atau roti bánh mì, warisan rasa dari Prancis yang kini menjadi milik Vietnam.
Semua makanan dan minuman itu tak pernah membuatku lupa; rasanya, aromanya, dan kelezatannya selalu mengingatkanku untuk kembali.
Atau mungkin karena Danau Hoàn Kiếm, tempat aku selalu berjalan sore sambil memandangi airnya yang tenang.
Di setiap langkah di trotoar, aku lupa menghitung jejak kakiku, bisa seribu, bisa dua ribu langkah.
Aku seharusnya menghitung, tapi sudah terlanjur berjalan terlalu jauh. Mana mungkin aku kembali hanya untuk menelusuri ulang jejak yang telah kulewati.
Mungkin besok atau lusa akan kuhitung dengan cermat, kalau perlu dengan alat ukur yang akurat.
Setiap langkah membawa pemandangan baru: orang-orang berfoto, berswafoto, berjalan santai, berolahraga, atau hanya duduk menunggu matahari terbenam.
Entahlah, begitulah irama dan dinamika hidup warga Hanoi, santai, seimbang, dan damai.
Mereka tampak tak terganggu oleh hiruk-pikuk kota. Kawasan Kota Tua (Old Quarter) penuh dengan cerita, seolah tak habis ditulis oleh mesin ketik kuno yang terus bekerja tanpa henti.
Di sini tak ada perahu berlayar di danau, tak ada pula orang memancing. Tak tampak warung-warung kecil berjualan di tepi air.
Apakah karena tidak diizinkan? Ataukah karena air yang tenang itu dianggap sakral, penjaga bisu dari sejarah yang panjang?
Barangkali ada legenda, seperti kisah seribu malam, yang diceritakan dengan berbagai versi oleh pendongeng dari masa ke masa.
Tak ada yang tahu, tak ada yang bisa memastikan. Mungkin itu hanyalah kebiasaan yang diwariskan berabad-abad.
إرسال تعليق