Catatan Perjalanan Mongolia (44): Mungkin Cita-Cita Tak Harus Dikejar, Cukup Dijalani

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Mungkin salah, mungkin juga benar—kalimat itu. Bagi orang kota, hidup terasa selalu mendesak. 

Tak kenal waktu, tak kenal lelah. Hari-hari berputar cepat. 

Pagi mengejar malam, malam pun segera ditabrak pagi. Semua serba terburu-buru. 

Begitulah hidup di tengah kemacetan, jadwal padat, dan tuntutan target. 

Mungkin itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai rush—sebuah kata asing yang entah sejak kapan jadi kamus harian di Nusantara. 

Aku mengerti, dan aku sangat paham—memang begitulah hidup di kota.

Semua serba cepat, tak menentu, dan penuh desakan.

Waktu terasa seperti musuh yang harus dilawan, bukan sahabat yang menemanimu.

Aku datang ke Mongolia. Tak terburu-buru. Kala itu aku tak siap apa-apa, hanya kemauan ingin tahu mendampingi aku. 

Tak ada bayangan, tak ada gambaran. Hanya sedikit pelajaran itenerary butuh memakan waktu.

Aku heran. Ini dunia baru. 

Kata orang, di sini padang rumput membentang hijau sejauh mata memandang. 

Tapi aku salah. Mungkin itu hanya impianku. 

Atau mungkin pula itu cerita dari Seribu Satu Malam yang dulu sering terdengar saat mendongeng di masa kecil.

Atau pun mungkin aku keliru datang pada musim yang salah, juli yang memanas.

Yang kulihat justru rumput yang menguning di sepanjang perjalanan. 

Jalanan penuh debu dan bebatuan yang mengganjal—tak semulus jalan aspal yang terus diservis di kotaku.

Di kejauhan, tenda-tenda putih kecil berdiri menyendiri, menghiasi lapangan luas yang terasa tak bertuan. 

Tak ada gedung pencakar langit. Tak ada bangunan tinggi seperti dalam bayanganku.

Aku berkutik dengan rumput yang luas. Aku memandang langit hampir setiap saat. 

Aku tak butuh jam Rolex yang melekat di lengan, atau kemeja lusuh karena lembur dan rapat yang tak habis-habis.

Aku sadar—mungkin inilah jalan hidup yang selama ini tak pernah benar-benar kupahami.

Hidup apa adanya. Sederhana, tapi… perlu.

Aku tahu kapan harus memandang langit, dan kapan harus kembali ke bumi.

Dan di sini, aku tak perlu komunikasi yang selalu. Tak perlu notifikasi tanpa henti.

Tak perlu terburu-buru. Tak ada yang mengejarku, dan aku tak sedang mengejar apa pun.

Di tanah asing ini, aku seperti bertemu dengan diriku sendiri—yang dulu tertinggal entah di mana, di simpang jalan antara waktu dan ambisi. 

Semua terasa lebih jujur dan jernih. Mungkin karena pepatah lama memang benar berkata.

Ala bisa karena biasa.

Berubah bukan berarti maju selangkah, bisa saja berarti pulang ke diriku sendiri. 

Bagi anak nomaden bisa saja berarti merasakan keanehan yang terburu-buru.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut