Catatan Perjalanan Mongolia (22): Bayangan yang Tak Mau Pergi

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku pulang ke negaraku hari ini. Tapi pikiranku belum benar-benar kembali. Masih melayang-layang di stepa Mongolia—di bawah langit rendah yang membentang tanpa batas.

Tak putus aku memikirkan: bagaimana semua ini bermula? Bagaimana langkah kecilku di bandara, entah kenapa, berakhir di sebuah dunia yang asing tapi terasa begitu akrab?

Aku mencoba memohon kepada pikiranku agar berhenti. Karena semestinya aku sudah kembali ke duniaku. Dunia yang sibuk, yang penuh jadwal, dunia yang tidak mengenal domba, sapi, atau kuda sebagai pusat kehidupan. 

Dunia yang menuntut aku kembali pada lembaran kertas—lembaran tulisan, lembaran berkas, baik dalam bahasa asing maupun bahasa ibu—yang menjadi pegangan profesiku.



Aku tahu, yang lalu harus berlalu. Itu kesadaran yang diajarkan waktu. Tapi kenangan itu terus membayangi. Ia tak mau pergi.

Seolah-olah aku masih duduk dalam mobil safari, melintasi tanah berlika-liku, menembus celah pegunungan Altai. 

Debu masih mengepul di belakang, dan langkah-langkah kuda masih terdengar samar di telinga. 

Angin Mongolia—angin yang dulu dingin dan berdebu—seperti masih membisikkan sesuatu di telingaku: kata-kata yang tidak kupahami sepenuhnya, tapi kurasakan maknanya.



Padahal aku tahu, ini bukan lagi angin stepa. Ini angin kota—panas, pengap, dan penuh polusi, melambai-lambai melewatiku tanpa suara.

Namun entah mengapa, bagian dari diriku masih tertinggal di sana. Di bawah langit yang nyaris menyentuh tanah. 

Di antara padang yang tak pernah usai. Di dalam diam yang penuh makna.

Ini semua harus berlalu. Dunia sana adalah dunia mimpi—namun mimpi yang pernah menjadi nyata.




Perjalanan menjelejahi jalan berbelok-belok dan menunggang kuda telah berlalu. Aku pun terbangun dari mimpiku.



Kini, secangkir kopi jadul dan kue jajan pasar menemani aku. Seperti dulu.***

Post a Comment