Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta dengan transit singkat di Hong Kong, saya akhirnya tiba di Mongolia.
Bandara Internasional Genghis Khan di Ulaanbaatar menyambut dengan udara sejuk sekitar 22 °C—tanda pasti bahwa ini bukan tanah tropis.
Proses imigrasi berlangsung cepat dan lancar, tanpa antrean panjang atau kerumunan gaduh seperti di bandara-bandara besar Asia.
Mongolia memang bukan destinasi wisata massal—justru di sanalah letak keistimewaannya: sebuah kota yang memberi ruang untuk bernafas dan termenung.
Dari balik jendela kendaraan, tampak padang rumput menguning, tidak hijau sepenuhnya.
Yurt, tempat tinggal tradisional warga Mongolia, berdiri kokoh di kejauhan.
Jalanan tidak sepi, namun ritmenya lambat—orang-orang berjalan seolah tahu ke mana mereka hendak pergi, tanpa tergesa-gesa.
Sore menjelang malam, Ulaanbaatar seolah berbisik: “Tenanglah, tak ada yang perlu dikejar saat ini,” saat matahari mulai merunduk.
Saya menurunkan ekspektasi untuk agenda penuh—bukan karena kota ini mengecewakan, melainkan karena tujuan saya bukan sekadar mencoret daftar tempat, melainkan menemukan kembali perasaan keheningan.
Malam ini bukan soal berapa banyak atau sedikit yang saya dapatkan, tapi tentang mendengar kembali suara yang sering kita abaikan: suara hati sendiri.
Mongolia mungkin jarang masuk dalam daftar “kota paling ramai diperbincangkan”, tapi bukan berarti tidak berarti.
Kota ini menyimpan kekuatan dalam diamnya: warisan sejarah, padang rumput luas, kehidupan suku penggembala, dan langit bebas polusi.
Malam di Ulaanbaatar adalah pembuka lembut untuk petualangan yang lebih dalam—bukan sekadar menyaksikan Mongolia, tapi merasakannya.
Selamat datang di Ulaanbaatar, kota kecil di ujung padang luas—sunyi, namun tak pernah benar-benar sepi.
Di balik keheningan itu, suara klakson bergema; mungkin para pekerja yang pulang.
Jalanan, meski sederhana, mengular dan macet sementara. Tanpa polisi lalu lintas, semuanya berjalan serba otomatis namun terkendali.
Melamun, merenung, mengingat—tanpa sadar, mobil jemputan berhenti di depan hotel. Saya membuka mata, bukan karena suara mesin, tapi karena sesuatu dalam diri saya berkata: petualangan ini baru saja dimulai dari hotel Milineum, Ulaanbataar.***
إرسال تعليق