Catatan Perjalanan Mongolia (3): Danau Uglii di Negeri Langit Biru yang Sunyi

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Setelah enam jam perjalanan dari Ulaanbaatar dengan bus yang melaju pelan, akhirnya saya tiba di Danau Uglii.

Rasa lelah tak terhindarkan—bukan hanya karena jarak yang jauh, tapi juga karena menunggu jemputan bus yang tak kunjung datang. Kesal, barangkali.

Di luar hotel, matahari bersinar terik meski suhu udara hanya 18°C. Panasnya menusuk kepala, namun belum cukup benar-benar menghangatkan tubuh.




Sepanjang jalan menuju Uglii, mata saya dimanjakan oleh hamparan rumput hijau yang membentang tanpa ujung batas. 

Di kejauhan, kuda-kuda liar tampak merumput bebas. 

Langit Mongolia biru cerah, tanpa awan. Ia seperti kanvas raksasa yang membungkus pemandangan yang tenang dan sulit diungkapkan.

Bus melaju perlahan, bukan karena macet. Tapi karena jalan tak rata dan batu-batu kecil yang membuat perjalanan terasa berguncang dan tidak nyaman.



Saat tiba di Uglii, malam pun mulai tiba. Jam merayap pelan menuju pukul sembilan. Matahari pun pelan-pelan tenggelam di ufuk barat. 

Aneh memang, tenggelamnya sang surya di sini jauh lebih lambat dibanding negara-negara Asia lainnya. 

Sepanjang hari ini saya tak melakukan apa pun. Seolah membiarkan waktu lewat begitu saja, tanpa berkata. Lelah rasanya badan ini.




Pagi hari, sekitar pukul empat, matahari sudah bersinar. Saya duduk terdiam di tepi danau.

Kagum rasanya melihat pemandangan pegunungan yang mengelilingi danau.

Danau Uglii tak seperti danau-danau lain yang pernah saya lihat. Airnya jernih, hampir transparan, memantulkan langit dan gunung-gunung di sekitarnya. 

Gunung-gunung itu menjulang tinggi, berdiri kokoh dan hijau seolah menjadi penjaga abadi. 




Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan rerumputan liar yang terawat benar.

Kedamaian yang saya rasakan di sini tak cukup dijelaskan hanya dengan kata “indah.”

Banyak yang bilang Danau Uglii ini unik—karena dikelilingi padang rumput luas dan jauh dari hiruk-pikuk manusia. 

Di sinilah alam berbicara dalam bahasa yang paling tenang dan paling jujur. Sebagai orang kota, suasana ini terasa seperti kemewahan yang langka.




Tak ada deru mesin, tak ada suara klakson. Yang terdengar hanya desir angin dan kicauan burung—pipit-pipit kecil yang berkejaran di semak-semak dan pepohonan.

Mungkin mereka sedang menyapa. Mungkin berdiskusi soal wilayah mana yang layak disinggahi. Atau sekadar mencari makan.

Saya menghabiskan waktu di tepi danau, duduk diam di atas batu. Menatap air dan membiarkan angin pelan-pelan menyapu wajah. Rasanya seperti berada di ruang waktu dan dunia entah berantah. 

Sunyi. Tenang. Tapi sama sekali tidak sepi. Kehidupan tetap ada di sekeliling—hanya saja mereka tidak berisik.

Di sekitar danau, banyak penduduk lokal Mongol berteduh. Mereka hidup nomaden. Yurt, tempat tinggal mereka, berdiri di antara padang rumput. 

Beberapa tampak tua, berdampingan dengan mobil-mobil rongsokan yang sewaktu-waktu bisa membawa mereka ke tempat baru.




Sesekali angin bertiup lebih kencang, membuat permukaan danau beriak pelan.

Burung-burung itu tetap terbang, tanpa terganggu.

Mereka tidak peduli pada angin, atau pada manusia yang memperhatikan dari kejauhan.

Mungkin mereka sedang mencari mangsa. Mungkin menentukan arah berikutnya. Atau mungkin… mereka hanya ingin terbang. Tanpa alasan. Tanpa tujuan.

Di tempat ini, saya merasa kecil. Tak ada kebutuhan akan koneksi internet. Tak ada suara notifikasi dari ponsel.

Dunia luar terasa jauh. Di hamparan luas ini, benda-benda kecil tampak seperti ada dan tiada. Hampa, namun bermakna.

Yang ada hanya langit biru, danau yang tenang, dan bisikan alam yang perlahan mengajarkan satu hal: bahwa hidup tidak selalu harus ramai. Kadang, kita berangan-angan tentang tempat lain.

Tentang hidup yang lebih tenang—tanpa kebisingan kota, tanpa gelombang suara yang saling tumpang tindih.

Di sini, saya merasa sendiri. Tapi bukan kesepian.

Saya ditemani angin sepoi, danau yang jernih, dan burung-burung yang melambai—seolah berkata: “Kau boleh diam di sini lebih lama, bila kau ingin.”

Tak ada beban pikiran. Segalanya terasa lepas di tepi danau.

Air yang tenang seolah menatap balik, dan dengan lembut berbisik:

“Hei, manusia. Cobalah tinggal sejenak. Rasakan kesunyian ini.***

Post a Comment