Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku semakin bingung. Mengapa banyak anak Mongol tidak bersekolah?
Apakah mereka tidak cemas memikirkan masa depan? Apakah mereka tak ingin tahu tentang dunia luar?
Bagi mereka, apa arti kemajuan? Apa yang disebut sukses dalam hidup anak-anak Mongolia?
Apakah mereka merasa cukup hanya dengan hidup berpindah-pindah?
Definisi sekolah itu sendiri—apa artinya bagi mereka? Haruskah selalu pendidikan formal?
Haruskah mengenal Shakespeare, sastrawan yang cukup terkenal? Ataukah cukup dengan memahami tulisan-tulisan yang menyimpan nilai budaya dan sejarah nenek moyang?
Pertanyaan-pertanyaan ini berpusar pada satu hal: bagaimana kita memahami kehidupan dan pendidikan anak-anak nomaden di Mongolia?
Tidak ada jawaban yang mudah. Hanya ada lapisan-lapisan kompleksitas dan nuansa yang menunggu untuk dipahami.
Sejujurnya, aku belum pernah benar-benar akrab dengan kehidupan orang-orang nomaden.
Aku tidak tumbuh dalam budaya yang terbiasa hidup berpindah-pindah.
Bagiku, kepindahan berarti kerepotan—rumah yang harus dibongkar, tempat baru yang harus diadaptasi.
Tapi kini aku mulai menyadari, kehidupan nomaden bukan sekadar perpindahan tempat tinggal.
Ia menyimpan cara berpikir, cara bertahan, dan cara hidup yang sama sekali berbeda.
Aku masih bingung. Tapi mungkin, dari kebingungan ini, muncul keinginan untuk memahami.
Oh, orang-orang nomaden itu punya kehidupannya sendiri.
Mereka punya dunia bayang-bayang—dunia yang tak harus sama dengan anak-anak dari tanah lain, yang bercita-cita menjadi ini dan itu. Menjadi konglomerat seperti Bill Gates, punya segudang jaringan dan mimpi-mimpi besar tentang masa depan.
Di padang rumput yang luas, dengan langit yang nyaris tak berujung, mungkin cita-cita tak harus dikejar—cukup dijalani.
Mungkin makna tidak selalu datang dari pencapaian, tapi dari keberlangsungan hidup itu sendiri.
Aku baru tahu, pendidikan formal bagi anak nomaden bukan suatu kewajiban.
Sejak kecil mereka diajarkan bagaimana melihat bumi, dan bagaimana membaca langit.
Seperti ahli nujum yang piawai menebak pergerakan alam, mereka mungkin ahli bintang—tanpa pernah duduk di kelas astrologi.
Kapan bintang muncul dan kapan ia lenyap, tak pernah meleset dari hitungan mereka.
Bagi anak-anak Mongol, sukses bukan berarti harus kuat secara finansial.
Sukses juga bukan tentang memiliki properti atau kekayaan berlimpah.
Bagi mereka yang tumbuh di padang stepa, sukses adalah ketika bisa menggiring sapi, kuda, dan kambing ke padang rumput di pagi hari—dan membawanya pulang ke kandang dengan selamat di sore hari.
Yang masih membuatku bingung: bagaimana anak-anak itu menghabiskan waktu seharian?
Memotong rumput, sepertinya bukan. Memandikan kuda, sapi, kambing, dan domba di tepi sungai pun rasanya tak akan selesai sampai petang.
Lalu, apa kegiatan mereka?
Mungkin jawabannya sederhana: mereka menjalani hari tanpa harus selalu berbuat.
Tanpa jadwal, tanpa target, tanpa catatan, tanpa pekerjaan yang menunggu.
Mereka bergelut dalam hari-hari yang lambat, seolah-olah jam tak berdetak—dengan waktu yang tak selalu perlu dijelaskan oleh siapa pun juga.***
إرسال تعليق