Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Mungkin saja, anak-anak Mongol lebih bahagia.
Mereka tak diburu PR, tak dituntut proyek rumit.
Pagi-pagi, mereka tak berbaris di bawah tiang bendera, mengikuti upacara yang maknanya pun tak mereka pahami.
Seragam? Tak ada.
Bel sekolah? Tak terdengar. Karena dalam hidup nomaden, sekolah adalah sesuatu yang ada… sekaligus tiada.
Tapi mereka tetap tumbuh, besar, dan tahu arah. Langit dan padang adalah buku pelajaran.
Tak perlu pelajaran geografi—mereka tahu arah pulang.
Tak belajar astrologi—tapi paham kapan bintang naik, kapan bulan purnama menggantung.
Aku melihat mereka bahagia, meski tanpa ijazah.
Pagi-pagi mereka sudah menggiring sapi dan kambing, sementara anak-anak kota baru melangkah ke kelas.
Bagi anak stepa, sekolah bukan kewajiban. Itu bonus.
Bacaan A, B, C… bisa tak bisa, mereka tak peduli. Yang penting: sapi dapat makan, dan padang tetap hijau.
Kala aku di sana, aku melihat anak-anak bermain seperti anak-anak lain di dunia.
Mereka melompat ke sana kemari, tanpa mainan plastik buatan pabrik, tanpa suara dari gawai atau boneka bersuara.
Mereka juga tak mengenal WhatsUp; tik tok, IG dan sejenisnya. Mereka yakin itu bukan mainan mereka.
Mereka tetap riang, seolah dunia cukup dengan kaki yang kuat dan tanah terbuka.
Aku pernah bertanya pada pemandu, Michele, apakah hidup mereka akan terus begini.
Dia hanya tersenyum, lalu berkata: “Itu sudah suratan. Walau teknologi datang, e-learning belum bisa menggantikan langkah kaki yang terus berpindah—mengikuti ternak, mengikuti alam.***
إرسال تعليق