Catatan Perjalanan Mongolia (19): antara Ulgii dan Ulaanbaatar yang sangat Kontras

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Kali ini aku berpikir dalam perjalanan Ulgii ke Ulaanbaatar. Apa beda Ulgii dan Ulaanbaatar?

Ulgii penuh dengan padang luas. Langit dan padang tanpa batas. 

Angin bertiup tanpa harap. Dingin tak ketolongan.

Rumah bukan batu. Binatang berkeliaran sewaktu-waktu. Ger berdiri sendiri, kadang dikepung sunyi.

Orang-orang bicara secukupnya, sisanya diserahkan pada diam dan pandang.

Beda jauh Ulaanbaatar. Unta diganti bus panjang dalam hal angkutan. Debu dilawan dengan asap knalpot buatan mobil Toyota bekas. 

Jalanan padang digilas aspal darat. Tak berbekas. 

Bangunan menjulang tinggi, penuh manusia menempati.



Tapi wajah-wajah tak saling menatap. Langkah cepat, mata sibuk dengan layar. Gerak tanpa sapa.

Di Ulgii, satu kuda bisa jadi keluarga.

Di Ulaanbaatar, satu apartemen bisa berisi sepuluh kesepian. Saling tak kenal, dan bersuara.

Tapi suara yang tak saling didengar, kehidupan ramai. Namun terasa lengang.

Semua mencari arah, tapi tak sempat menoleh.

Aku masih di bus.  Membaca wajah-wajah Mongolia dari balik jendela.



Kadang terlihat rindu yang tak tahu pulang ke mana. Kadang terlihat penantian tanpa yang ditunggu.

Pemandu seorang wanita Mongolia. Bicara fasih bahasa Mandarin seperti bahasa keibuan.

Tangannya lincah menunjuk arah, tapi matanya sering tertuju ke luar jendela.

Mungkin ia sedang menerjemahkan dirinya sendiri.

Antara darah padang dan lidah asing. Antara leluhur yang menunggang kuda dan masa kini yang duduk di depan hanya alat mikrofon.

Aku hanya mendengar. Bahasanya bukan milikku, tapi suaranya membawa beban yang kutahu: berjalan di antara dua dunia dan merasa tidak utuh di keduanya.

Tapi aku sadar pemandu Mongolia bernama Michele  tak seperti aku. Dari bahasanya kita bisa bersatu untuk menuju ke Ulaanbaatar.***

Post a Comment