Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Banyak orang mengira, perjalanan adalah tentang pemandangan indah.
Tempat yang cantik untuk difoto, jepret sana-sini, lalu tayang di Instagram, TikTok, YouTube, atau media sosial lainnya. Selesai sudah lalu lanjut pergi menuju ke kota berikutnya.
Tapi bagi penulis, perjalanan bukan tentang sejauh apa kaki melangkah, melainkan tentang sedalam apa hati merasakan, memahami, menyelami, seperti apa jiwa sebuah negeri.
Katakanlah, saat mengunjungi kota tua di Azerbaijan: Icherisheher. Bayangan dalam benak penulis pun berpendar dalam warna-warni imajinasi.
Penulis berjalan perlahan di antara bangunan batu yang bisu, membayangkan kisah-kisah yang dulu pernah hidup di dalamnya. Siapa yang pernah bernaung di balik dinding ini?
Bagaimana mereka bertahan tanpa pendingin udara— di rumah-rumah dari batu keras, tanpa jendela, hanya lubang-lubang angin kecil yang menyelipkan sejuk, bahkan di tengah panasnya musim.
Dan di sana, berdirilah Maiden Tower --tegak dan penuh misteri. Siapa yang membangunnya? Untuk apa?
Sebagai menara pengawas? Sebagai mercusuar? Atau sesuatu yang jauh lebih dalam — sebuah simbol, sebuah pesan yang hanya bisa dibaca oleh waktu.
Berabad-abad telah berlalu, dan menara itu tetap menyimpan teka-teki.
Tak ada yang benar-benar pasti, kecuali bahwa setiap batunya menyimpan cerita yang menunggu untuk didengarkan.
Konon, menara ini dibangun pada abad ke 7 atau mungkin abad ke-12.
Tapi sejarah masih menunggu kepastian. Penelitian masih mencari jawabnya— sementara imajinasi terus merayap di antara celah-celah batunya.
Sebab sebuah tempat baru benar-benar hidup ketika kita tahu ceritanya, merasakan nadinya, dan membiarkannya tinggal di hati.
Karena perjalanan terbaik, bukanlah yang paling jauh, tapi yang paling terasa dalam setiap langkah dan lama menetap dalam kenangan.
Siapa nyana bangunan-bangunan sepuh di kota tua ini bisa menjadi kenangan sejarah, dan bahkan tak luput dari sorotan dunia karena menjadi warisan dunia dan diakui Unesco.***
إرسال تعليق