Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kuliner di Xinjiang tak bisa dilepaskan dari daging terutama daging kambing, domba, dan sapi.
Sebagai wilayah otonom di Tiongkok yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Uighur yang beragama Islam, masakan di sini sangat dipengaruhi oleh budaya Asia Tengah.
Dominasi bahan-bahan halal, penggunaan rempah yang kuat, serta teknik memasak yang khas menjadikan cita rasa Xinjiang begitu unik.
Ke mana pun kaki melangkah, baik di kota besar seperti Urumqi maupun di pasar-pasar kecil pedalaman, aroma panggangan dan rebusan daging senantiasa hadir.
Potongan besar domba dipanggang perlahan di atas bara, tusuk sate berukuran tak biasa, hingga sup daging hangat yang disajikan bersama roti pipih nang.
Semuanya bukan hanya makanan, tapi bagian dari nafas kehidupan sehari-hari masyarakat Xinjiang.
Aku pun tak ingin sekadar menjadi penonton.
Satu per satu, kucoba hidangan-hidangan lokal, nasi goreng khas Uighur yang kaya bumbu dan aroma lada, sup kambing yang gurih sekaligus menghangatkan tubuh, dan tentu saja nang, roti pipih legendaris yang selalu setia hadir di meja makan.
Keras di luar, berserat hangat di dalam, roti ini sering kali dipanggang langsung di dinding oven tanah liat hitam dengan api membara.
Ritual memasaknya saja sudah seperti pertunjukan yang memikat.
Makanan di sini tidak hanya soal rasa, tapi juga soal cerita.
Setiap hidangan seolah membawa kembali jejak langkah para pedagang Jalur Sutra.
Bayangkan mereka menempuh gurun dalam cuaca ekstrem, baik musim panas yang menyengat maupun dingin yang menggigit.
Di tengah perjalanan panjang itu, semangkuk sup bukan sekadar pengisi perut, ia menjadi penawar dahaga, penghangat jiwa, dan pengingat bahwa hidup tetap bisa dinikmati, bahkan dalam keadaan paling berat sekalipun.
Aku pun merasakan polo, nasi goreng khas Xinjiang di Erdaoqiao Night Market (二道桥夜市).
Masakan nasi dengan campuran wortel, mentimun, dan minyak wijen yang dimasak dalam kuali besar itu bukan sekadar hidangan pokok.
Ia adalah warisan budaya, pembawa ingatan kolektif, dan simbol kehangatan yang menyatukan keluarga, sahabat, dan para perantau.
Tak hanya masyarakat Uighur yang menggemarinya, kami para pendatang pun tertarik mencicipi nasi polo ini. Rasanya begitu berbeda dari nasi goreng Jawa, belacan, atau terasi yang akrab di lidahku.
Ada kekayaan rasa yang baru, namun tetap menghangatkan seperti rumah.
Rasanya yang kaya, wanginya yang menggoda, dan warnanya yang hangat seolah memanggil siapa saja yang melintas di depan kedai.
Tak perlu rayuan dan promosi media, cukup satu embusan aroma dari kuali besar itu, dan siapa pun akan tergerak untuk menyuapnya.
Di tengah keramaian pasar malam, di antara suara tawa dan gemerincing wajan, aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan, aku menemukan rasa yang menyentuh jiwa.
Semua itu di daerah ibukota Xinjiang, Urumqi, Tiongkok.***










إرسال تعليق