Kesan dari Pakistan (8): Perempuan di Malamjabba

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku kini berada di Malamjabba, sebuah desa terpencil yang jauh dari Kalam, di Lembah Swat. Perjalanan darat ke sini memakan waktu enam hingga tujuh jam. 

Bukan perjalanan yang singkat, jalan berliku, lembah dalam, dan bukit-bukit sunyi mengiringi langkahku. Tapi justru dalam kesunyian itu aku menemukan ruang untuk merenung.

Mengapa segalanya terasa begitu berbeda di sini?

Mengapa aku jarang melihat perempuan di ruang-ruang publik?

Mengapa hampir tak ada wanita yang berjalan di jalanan?

Pasar penuh oleh lelaki. Kedai kopi menjadi ruang pertemuan para pria—tempat mereka mengopi, bersendau gurau, dan membicarakan politik. Tapi tak kulihat satu pun perempuan duduk di sana.

Tiada tawa perempuan di warung makan. Tak ada ibu-ibu yang menawar harga di toko sayur.

Membeli sayur, ayam, dan telur pun menjadi tugas laki-laki. 



Di sini, urusan belanja bukan domain para ibu, melainkan para bapak.

Seorang lelaki setempat bahkan berkata: “Perempuan di sini bahkan tidak tahu harga gula sekilo.”

Aku terdiam. Bukan karena tak percaya, tapi karena tersadar betapa berbeda dunia yang mereka jalani.

Aku berjalan pelan menyusuri pasar tradisional: yang berjualan, yang membeli, yang mengemudi angkot, yang menjadi tukang sepatu dan tukang pangkas, semuanya laki-laki.

Tak satu pun berambut panjang. Tak satu pun bersuara lembut.

Lalu aku bertanya dalam hati: Ke mana para ibu?

Ke mana srikandi-srikandi yang dulu menjadi tulang punggung kehidupan?

Ke mana wajah-wajah seperti Benazir Bhutto, perempuan yang pernah berdiri di panggung dunia, menyandang jabatan tertinggi sebagai Perdana Menteri Pakistan?



Pemanduku berkata pelan, seperti membisikkan kebenaran yang tak lagi mengejutkan: “Para perempuan ada di rumah—di dapur, di ruang keluarga, di ruang-ruang tertutup. Mereka tidak butuh ponsel. Mereka juga tidak perlu bersosialisasi.”

Aku mengangguk kecil. Bukan karena setuju, tapi karena tak punya jawaban lain.

Aku bingung. Di sini, perempuan seolah hidup tanpa nafas, tanpa wajah, tanpa suara.

Tanpa keinginan yang boleh tumbuh, tanpa mimpi yang boleh terucap.

Aku tak paham mengapa bisa begitu.

Apakah karena keyakinan? Atau karena kebiasaan yang diwariskan tanpa tanya?

Atau mungkin karena dunia ini, sejak lama, telah dibentuk untuk hanya milik kaum lelaki?




Dan barangkali, karena terlalu lama dibungkam, para perempuan pun belajar menerima.

Mereka diam, bukan karena tak tahu…Tapi karena terlalu lama diberitahu bahwa mereka tak perlu tahu.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut