Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kita pergi ke negeri orang, sering kali hanya untuk melihat.
Melihat wajah, memperhatikan tubuh, menatap langkah-langkah yang asing bagi kita.
Tapi apakah kita sadar, kita pun sedang dilihat?
Aku datang jauh-jauh ke Tibet, bukan sekadar untuk wisata. Bukan hanya untuk melihat biara, stupa, atau istana.
Ada sesuatu yang terasa lebih dalam, seperti bisikan misteri yang tak pernah selesai diceritakan.
Ketika orang-orang berbicara tentang Tibet, telingaku mendengarkan dengan seksama.
Tapi perlahan aku sadar, selama ini aku hanya melihat mereka.
Menatap mereka. Menyimak mereka. Merekam gerak mereka.
Dan sebuah pertanyaan pun muncul, apakah mereka juga melihatku?
Apakah orang Tibet juga memandang kita para pengunjung asing ini?
Mungkin jawabannya sederhana: ya, sama.
Kita saling memandang. Tapi yang berbeda adalah cara dan kedalaman kita dalam melihat.
Aku mengamati mereka. Kadang, mereka mungkin menganggapku aneh.
Tapi sesama manusia, yang sama-sama lahir di bumi ini, apakah kami benar-benar berbeda?
Aku tak tahu kesan mereka terhadapku. Mungkin aku orang luar, tak siap melihat tingkah laku seperti mereka.
Berjalan, kadang menunduk dalam keheningan yang aku tidak kenal.
Awalnya aku pikir mereka mau berdoa secara diam-diam. Tapi tiba-tiba tangan ke atas dan merentangkan tubuh ke lantai.
Menurut mereka itu normal, karena itu kewajiban agama.
Bagiku itu bagian dari keyakinan mereka, aku hanya bisa merenung tanpa harus menirunya.
Tapi sekarang aku baru tahu, bersembahyang tak perlu di biara.
Bagi mereka, asal ada ruang, angin, dan udara, semua lokasi pun bisa.
Dan kini aku mengerti, seperti kata pepatah lama: Buruk muka, cermin dibelah.
Barangkali sebelum menilai yang lain aneh, kita perlu bercermin dulu.***
إرسال تعليق