Kesan dari Pakistan (13): Sudah Bertemu, tapi Tak saling Tahu

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku pernah merasa kesal di Islamabad. Bukan karena cuacanya yang panas, bukan pula karena makanannya yang sedikit asing di perut yang sedang lapar.

Rasa kesal itu datang karena satu hal yang cukup bikin jengkel: aku sudah janjian dengan seorang pemandu, tapi ia tak juga muncul—padahal waktu sudah lewat dua jam. 

Dua jam! Aku mondar-mandir di lobi hotel sambil menahan kecewa dan heran. Apakah orang Pakistan memang seperti ini? Atau cuma dia saja?

Tentu aku tak ingin buru-buru berprasangka. Aku coba bertanya ke beberapa orang di sekitar hotel, memperlihatkan foto si pemandu, berharap ada yang mengenal atau tahu keberadaannya. 

Tapi semua usaha itu sia-sia. Jawabannya selalu sama: tidak tahu.

Perlahan, kecurigaan mulai muncul: jangan-jangan aku ditipu. Pemandu itu sebelumnya berjanji akan membawaku ke beberapa lokasi, dan aku sudah membayar lunas jasanya. 

Kesal? Tentu saja. Tapi mau marah ke siapa?

Akhirnya, aku keluar dari lobi hotel, menyapu pandang ke area parkir, berharap melihat mobil dengan merek Jepang seperti yang ia janjikan. Siapa tahu, barangkali ia menunggu di luar. 

Rasa penasaran mengalahkan rasa kecewa. Pikiranku dipenuhi tanya: apakah aku memang dibohongi? Atau ada sesuatu yang belum aku pahami dari cara orang sini menepati waktu?

Aku tidak pasrah, tapi berusaha mencari tahu. Kubuka kembali rekaman telepon di ponsel, menelusuri siapa tahu ada jejak informasi yang terlewat.

Bukankah pemandu itu punya atasan? Seorang bos yang sebelumnya pernah dipakai jasanya?

Aku coba menghubunginya. Tapi sayang, sinyal ponselku hanya satu garis—nyaris tak aktif.

Aku berdiri di pojok parkiran, mengangkat tangan tinggi-tinggi seperti sedang mencari antena langit.

Dalam hati aku tertawa getir: rupanya, di negeri asing, hal-hal kecil seperti sinyal bisa menguji kesabaran kita lebih dari apa pun.

Mungkin ini bukan semata soal keterlambatan, tapi soal bagaimana kita belajar memahami dan menerima bahwa dunia tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan.

Pikiranku mulai menerawang ke mana-mana. Bagaimana jika pemandu itu memang tak datang?

Bagaimana jika aku benar-benar telah dibohongi? Apa yang harus kulakukan? Tetap menunggu atau mencari agen lain?

Mungkin aku terlalu jauh memikirkan, terlalu cepat menyimpulkan, terlalu mudah berburuk sangka terhadap orang lain. Syukur-syukur semua hanya kesalahpahaman.

Aku melirik ponsel lagi. “Eh, WhatsApp-ku sudah dibaca.”

Beberapa saat kemudian muncul balasan dari bos agen: pemandunya katanya sudah ada di parkiran sejak pagi. 

Aku segera membalas, memintanya ke lobi.

Tak lama, seseorang masuk ke dalam hotel, menatap sekeliling, lalu berjalan ke arahku.

Aku tertegun.

Orang itu yang kini berdiri tepat di hadapanku adalah pria yang pagi tadi kutanyai di depan lobi. 

Saat itu, aku memperlihatkan foto pemanduku kepadanya, dan bertanya apakah ia mengenal orang ini. Ia hanya tersenyum, menggeleng pelan, lalu pergi.

Astaga… dia orangnya! Pemandu itu… adalah orang yang sejak pagi sama-sama menungguku, tanpa tahu bahwa akulah orang yang harus dijemputnya.

Kami sudah saling bertemu sejak awal tapi gagal mengenali satu sama lain.

Komunikasi tanpa kata, asumsi tanpa kejelasan, dan mungkin, kelelahan antar budaya.

Aku hanya bisa tertawa kecil, menahan malu dan heran.

Di negeri asing, rupanya kesalahpahaman bukan soal bahasa semata. Kadang, yang paling membingungkan… justru adalah diam.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut