Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kuliner di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tak pernah membosankan.
Setiap kali berkunjung, saya selalu menyempatkan diri mencicipi aneka makanan.
Bukan karena rindu kampung halaman, atau karena cuacanya yang sejuk --setidaknya jika dibandingkan dengan Jakarta -- melainkan karena kenangan yang dibangkitkan oleh rasa.
Saya penggemar mie pangsit. Merek-merek legendaris seperti Mie Pangsit Awai, yang dulunya dijual di kaki lima Jalan Surabaya, selalu membangkitkan nostalgia.
Dulu, makan mie di bawah tenda sederhana sambil menunggu gerimis reda adalah bagian dari ritual.
Kadang, saat suapan pertama belum habis, hujan turun tiba-tiba, memaksa saya bergeser, mencari tempat berteduh dari tetesan air langit.
Kenangan kecil seperti itu justru memperkaya pengalaman kuliner di kota ini.
Saya cukup dekat dengan pemilik Mie Awai. Tak lupa, saya pernah mengunjungi kedainya di Medan, tepatnya di kawasan Cemara Asri.
Rasanya tetap sama seperti dulu.
Ia berpesan, “Semua harus dikelola dengan baik. Satu-satunya resep adalah mencoba, mencoba, dan terus mencoba.”
Kini, tak hanya Mie Awai yang bertahan. Generasi baru mulai merenovasi mie pangsit peninggalan tempo dulu.
Mereka menambahkan resep, memperkaya bumbu, dan menciptakan versi-versi baru yang lebih berani, sesuai dengan lidah masa kini yang manja dan selalu ingin kejutan.
Didukung promosi lewat TikTok, Instagram, YouTube, hingga televisi, hiruk-pikuk dunia kulineran makin terasa.
Di Siantar, merek-merek baru pun bermunculan dan mulai dilirik konsumen. Mie Aon, Mie Akhun, bahkan Mie Dowwer kini punya pangsa pasarnya sendiri.
Bukan lagi soal nama semata, tapi soal rasa yang jadi pertaruhan sesungguhnya.
Siapa pun bisa viral, tapi hanya rasa yang bisa membuat pelanggan kembali.
Yang menang bukan yang paling murah, tapi yang rasanya paling diingat.***
إرسال تعليق