Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku masih bingung, bukan karena apa, tapi karena wajah-wajah Altai, Hemu, dan Nalati masih membayangi.
Semua begitu membekas, seolah tak mau pergi dari ingatan.
Aku ingat yurt, tenda bundar bertopi putih yang berdiri di padang luas Altai.
Orang-orang Kazakh banyak berkemah di sana, hidup dalam siklus nomaden yang terasa asing, tapi memesona.
Lalu Hemu, desa kecil beratap kayu, tenang dan bersih, seperti lukisan yang dibiarkan hidup.
Kata orang, suku Tuva banyak menetap di sana. Wajah-wajah mereka ramah, tapi sulit kutebak.
Aku hanya bisa menebak lewat pakaian, atau cara mereka menyapa pagi “Zao an”.
Dan aku pun tak bisa lupa Potala, biara megah di atas bukit Tibet.
Tempat itu dipenuhi biksu, doa, dan diam.
Ada semacam kekhidmatan yang mengikat ruang dan waktu di sana, sunyi yang berbicara lebih dari kata-kata.
Semuanya telah kudatangi. Budaya dan tradisi mereka berbeda, meskipun langit yang mereka tatap tetap sama.
Wajah mereka tampak mirip, tapi tak pernah benar-benar serupa.
Hanya satu yang bisa langsung kukenal: suku Han, karena wajah-wajah itu kerap muncul di televisi nasional Tiongkok, menyampaikan berita, pidato, dan perayaan kenegaraan.
Yang lainnya… aku hanya bisa menerka, sambil menebak siapa sebenarnya mereka.
Aku pun sempat mengunjungi Mongolia, tepat di ujung Altai. Di sana aku bertemu suku Kazakh yang nyaris tak berbeda dengan yang kutemui di Xinjiang.
Mereka mahir berbahasa Mandarin, tapi tetap fasih berbahasa ibu mereka: bahasa Turkik.
Dari situ aku mulai tahu tradisi tak mungkin lepas dari warisan leluhur. Tradisi memang selalu menjadi ingatan.
Aku pernah melihat orang Tibet berdoa.
Mereka berdiri hening di hadapan patung Buddha, membaca mantra, memutar tasbih kayu, dan menunduk dalam penghormatan.
Mulut para biksu itu bergerak perlahan—berkomat-kamit dalam bahasa yang tak kumengerti.
Aku tak tahu mereka mengucap apa. Tapi aku pun sadar, sebagai tamu, aku tak perlu tahu segalanya.
Yang penting, aku mengerti bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari warisan turun-menurun.
Tradisi yang dijaga, dihormati, dan diwariskan dalam diam maupun doa. Dan itu sudah cukup bagiku.
Aku pernah melihat mereka saling berbisik, lalu menepuk dada dengan lembut.
Mungkin itu salam, mungkin pula pengingat satu sama lain untuk tetap rendah hati.
Apa pun maknanya, hanya mereka yang paling paham.
Tradisi itu, kata seorang penjaga, dilakukan setiap hari pukul tiga sore, di Biara Sera, Tibet.***
Posting Komentar