Catatan Perjalanan Mongolia (39): Kenyang yang Tak Menyisakan Apa-Apa

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku sadar, makan banyak tak sekadar membuat perut buncit.

Kadang justru membuat tubuh lelah, pikiran lambat, dan hati penuh tanpa arah.

Katanya manusia dianjurkan makan secukupnya. Tapi siapa yang benar-benar tahu: cukup itu di mana?

Sebagian orang bahkan tak paham arti cukup. Mau ditimbang, apalagi diukur—rasanya selalu kelewatan.

Batas antara cukup, setengah cukup, bahkan terlalu cukup pun mengabur.

Aku di Mongol selalu mencari masakan lokal. Daging adalah menu utama--terkadang satu-satunya.

Tak ada yang membantah: terlalu banyak daging bisa jadi sengsara.

Perut terasa penuh, tapi tubuh tidak selalu lebih kuat.

Kadang setelah makan, yang datang bukan tenaga—melainkan kantuk, malas, bahkan perasaan bersalah.

Aku bingung, kenapa masakan lokal di sini rasanya itu-itu saja. Daging lagi, daging lagi.

Bagiku, rasa masakan lokal tak benar-benar membawa bumbu. Hambarnya boleh diterima, tapi kelembutannya belum tentu bisa dimaafkan.

Aku sudah mencoba berkali-kali—daging domba, kambing, sapi, bahkan hampir kuda.

Tapi rasa seakan berputar-putar di tempat yang sama. Tak ada kejutan, tak ada yang menggoda.

Kadang aku merasa, bukan hanya lidahku yang lelah—tapi juga pikiranku.

Aku lihat orang Mongol makan dengan seenak-enak, sesuka-suka. Tanpa kompromi, tanpa malu, saling berebut.

Seolah-olah baru saja keluar dari puasa panjang yang tak ada akhirnya.

Bagi kita, itu mungkin tak sopan. Tapi bagi orang gunung, tata krama soal makan tak lebih penting dari isi perut.

Sudah biasa—makan ramai-ramai dan berebutan.

Karena angin gunung tak pernah beri ampun bila perut dalam keadaan kosong.

Dari pada tak makan, lebih baik bertarung demi sesuap atau seporsi makanan 

Dan di sini, berebut makan bukan memalukan—tapi semacam permainan, cara hidup yang menyelamatkan.

Aku ingin bertanya pada sopir, “Enak, nggak?”

Tapi mulutku tak juga terbuka. Bukan karena takut masuk angin, bukan pula karena sungkan berbicara.

Aku tahu, kalaupun dijawab, kita berdua mungkin tetap tak saling mengerti. Buat apa?

“Enak” itu bisa pakai jempol, bisa juga cukup dengan meraba perut.

Tapi sopir yang andal seperti dia, tentu sudah paham: gerakan tutup mulut kadang lebih jujur dari pada kata-kata yang diucapkan.

Tanpa basa-basi, kadang tutup mulut justru tanda yang paling baik.

Tak hanya menyembuhkan canggung dalam percakapan, tapi juga bisa mengecilkan sorotan mata yang mungkin sedang menilai.

Soal makan, soal perut, kadang memang tak selalu menyenangkan.

Dan aku pun belajar, bahwa kenyang tak selalu berarti cukup, dan diam tak selalu berarti kosong.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut