Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Tak setiap perjalanan memungkinkan kita mencapai titik-titik paling ekstrem.
Kadang, karena waktu yang terbatas, jarak yang terlalu jauh, atau medan yang tak bersahabat, akhirnya tak semua impian bisa diwujudkan. Tapi itu lumrah—bagian dari setiap petualangan.
Seperti hari ini: aku tak bisa menginjakkan kaki di Gurun Gobi yang sesungguhnya.
Tak sempat menyaksikan langsung keajaiban alamnya— tempat di mana pasir membentang tanpa batas, unta renta melangkah lamban, dan angin liar bertiup tanpa arah.
Kata orang, “Sekali seumur hidup, kau harus merasakan pasir Gobi.”
Kecewa? Mungkin. Tapi tidak sepenuhnya.
Hari ini, aku tiba di Mini Gobi—Elsen Tasarkhai, sebuah gurun kecil yang tersembunyi di tengah padang pasir Mongolia.
Mereka menyebutnya versi mungil dari Gobi. Dan memang, ada sesuatu yang memikat di sini.
Hamparan pasir bersisian dengan perbukitan dan padang hijau.
Unta-unta berpundak dua tetap hadir, melintasi cakrawala yang lengang.
Sesekali mereka membawa pelancong, meski tak banyak yang tahan panasnya.
Harga untuk mengelilingi Mini Gobi dengan unta hanya USD 15—lebih murah dari seporsi steak di Jakarta.
Mini Gobi tak segagah yang kubayangkan. Bentangan pasirnya tak seluas dalam pikiran, warnanya pun tak seputih harapan.
Langitnya memang membiru tanpa noda, dan matahari menyinari dengan kepanasan yang asing—bukan hangat, tapi membakar.
Lalu aku bertanya dalam hati: Apa yang bisa kulakukan di sini? Berswafoto? Menerbangkan drone? Menunggang kuda? Memandu unta?
“Semuanya terasa berat.””Teriknya matahari menjadi kendala.”
Namun entah mengapa, ada ketenangan yang perlahan menempel di dada.
Gobi mungkin jauh. Tapi di sini, aku merasa dekat dengan jiwanya.***
Posting Komentar