Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku tiba di Olgii, Altai, saat hari sudah kesorean. Mataku menyapu beberapa yurt yang tampak kusam.
Satu per satu kuperhatikan dalam cahaya yang makin meredup.
Bukan yurt seperti sebelumnya—yang bersih, cerah, dan disiapkan untuk menyambut tamu datang.
Ini yurt milik penduduk asli. Bukan tempat nyaman untuk menginap, tapi tempat bertahan hidup.
Aku bingung memilih. Beberapa yang besar, lainnya kecil.
Aku lihat ke kanan dan ke kiri, lalu memandangi sopir yang mendampingi selama perjalanan.
Tangannya menunjuk ke sebuah yurt kecil.
Kenapa yang kecil? Bukankah yang lebih besar akan lebih nyaman?
Tapi bertanya padanya, sama seperti berbisik ke angin stepa: tak ada jawaban.
Pasrah. Aku tak tahu yurt mana yang paling “memanjakan.”
Hatiku makin gelisah. “Bagaimana tidur malam ini?”
Pertanyaan itu bukan sekadar soal kenyamanan—tapi soal psikologis. Sebab ketika langit Mongolia berubah warna, dan angin mulai menggigit, tempat tidur bukan hanya soal empuk atau tidak—tapi soal perlindungan.
Bagaimana dengan ranjang? Dengan kasur?
Dengan selimut yang tipis? Dengan bantal dan guling yang entah dari mana asalnya?
Aku ragu. Diam seribu bahasa. Bagaimana baunya?
Aroma kasur yang lembap, kayu ranjang yang mungkin berjamur?
Tak bisa kupikirkan lebih jauh.Karena otakku saat ini lagi lelah.
Aku menoleh ke supir, ke pemandu, ke wajah-wajah penduduk yang tak banyak bicara.
Mereka seperti tahu jawabannya, tapi tak merasa perlu menjelaskannya.
Mungkin bagiku ini hal besar—tapi bagi mereka, ini perkara biasa.
Dan di sinilah aku belajar satu lagi filosofi stepa: kadang, rasa aman tak datang dari kemewahan, tapi dari kesediaan untuk beradaptasi.
Aku pun harus beradaptasi dengan dingin.
Malam makin larut. Lampu kecil di yurt perlahan meredup, mungkin karena tahu tuannya ingin rebah dan diam menetap.
Tapi angin juga tahu caranya menyelinap. Yang paling tipis—pakaian, celah, dan dinding tenda—menjadi sasarannya.
Meski tubuh sudah kubalut dengan lapisan demi lapisan kain, angin stepa tak memberi ampun.
Aku terbangun. Bukan karena sapi yang bersuara malas, bukan karena lampu gantung yang tambah redup.
Tapi karena susupan angin dari bawah tenda tipis. Menusuk dari tanah, naik ke tulang.
Dan baru di saat itu aku sadar:semua balutan hangat tak pernah benar-benar membawa kehangatan maksimal.
Akupun pasrah, dan akupun baru paham orang yang selama ini kita sebut orang gunung mempunyai daya tubuh yang lebih kuat dari orang tropis dalam menghadapi kedinginan.
Mereka bisa tidur dengan nyenyak meskipun tungku kayu lagi menyala.***
Posting Komentar