Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku masih agak bingung dengan keberagaman suku dan etnis di Xinjiang Utara.
Wajah mereka hampir serupa—menyerupai satu sama lain. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana cara membedakannya
Bahasa yang mereka gunakan pun terdengar mirip. Aku bahkan tak tahu pasti itu bahasa apa.
Suku Kazakh, Tuva, Uyghur, Han, bergaul di bawah atap yang sama, menyapa langit yang sama, meminum air sungai yang sama.
Tak ada beda yang kentara. Justru itu yang membuatku penasaran.
Pernah, aku menyapa seseorang di Hemu dan Altay dengan kata, “Zao an.” (早安).
Ia membalas dengan senyuman dan ucapan yang sama: “Zao an.”
“Oh, dia paham,” gumamku dalam hati.
Mungkin di antara mereka sendiri, tak semua berbicara dalam bahasa yang sama.
Tapi bisa jadi mereka berbagi bahasa tubuh yang menyatu—bahasa yang tak tertulis, namun dimengerti bersama. “Zao an” mungkin telah menjadi salam pemersatu di tanah yang dihuni banyak suku ini.
Aku maklum, mereka bukan orang Mongolia. Mereka tak lagi menggiring kambing, domba, atau kuda di padang-padang rumput luas.
Kini, mereka menyebar di lapak-lapak kecil Hemu Village, Nalati , dan Altay, berjualan, menyapa, menatap langit yang sama, dalam kehidupan yang terus berjalan.
Aku pun tak pernah menanyakan apa agama mereka.
Tapi aku menduga, sebagian dari mereka masih menyembah langit dan batu.
Pernah, kulihat seseorang berdiri hening di hadapan batu besar mengangguk-angguk, berdoa dalam kesunyian.
Mungkin itu hal biasa di kalangan suku pedalaman.
Tapi aku pun tak berani bertanya lebih jauh. Maklum, di negeri orang, bertanya bisa disangka menyinggung. Kadang, diam adalah bentuk penghormatan.
Aku pun berjalan perlahan, mengamati orang-orang yang berjualan di warung Hemu.
Apakah mereka termasuk suku Kazakh. Dari cara berpakaian, mereka mirip dengan suku nomaden Mongolia.
Apakah mereka sama atau hanya serupa?
Namun di Xinjiang, mereka berbicara dalam bahasa Mandarin.
Berbeda dengan di Mongolia, yang memakai bahasa Turkik—bahasa yang sepenuhnya asing bagiku.
Pertanyaanku kemudian: sejak kapan mereka tinggal di Xinjiang? Kapan leluhur mereka menetap di Negeri Naga ini?
Mungkin aku tak perlu mencari jawabannya sekarang.
Karena aku hanyalah tamu—yang datang sejenak, menyapa langit yang sama, lalu melangkah pulang dengan pertanyaan yang sengaja kubiarkan terbuka.***
Posting Komentar