Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku tidak pernah takut ke berbagai negara walau tak menguasai bahasanya.
Aku yakin mereka pasti bisa memahami, meskipun bukan dengan kata-kata manusia.
Gerakan tangan, anggukan kepala, atau sekadar sorot mata bisa menjadi jalan keluar.
Bahasa tubuh sering kali lebih jujur dari pada ucapan.
Itu semua aku anggap ringan, asal mereka ramah, asal hatinya terbuka. Akupun bebas berpetualang.
Aku pernah ke daerah Amerika Latin, ke Brasil. Nama itu sudah tak asing di telingaku sejak kecil karena Pele, sang raja sepak bola.
Negara itu juara berturut-turut, dan entah kenapa, kesannya selalu ceria.
Aku tidak bisa bahasa Portugis, mereka tidak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.
Tapi kami bisa tertawa bersama, hanya karena satu gestur sederhana, menunjuk ke arah TV saat pertandingan bola, lalu bersorak saat tim favorit mencetak gol.
Itu cukup. Tak perlu kamus. Tak perlu aplikasi penerjemah untuk menafsirkan suatu kata.
Meskipun bahasa tidak sama, bukan berarti aku tidak bisa datang atau menikmati panorama Air Terjun Iguazu di Brasil yang terkenal di seluruh dunia.
Kadang aku bertanya dalam bahasa Inggris, “What is this?”
Jawabannya bisa berupa anggukan, bisa juga gelengan kepala.
Bagi saya, itu adalah jawaban “yes or no.” Tapi aku tak tahu: mereka bilang “ya” karena paham, atau geleng kepala karena tak mengerti?
Atau mungkin mereka hanya ingin sopan, agar aku tidak merasa kecewa? Aku tidak tahu.
Hal yang serupa aku alami di Mongolia.
Suku Kazakh yang tinggal di daerah pegunungan lebih banyak berinteraksi dengan kuda, sapi, dan domba dari pada manusia asing yang datang dan pergi.
Mereka tak terlalu peduli siapa yang lewat, apalagi jika hanya sebentar.
Mereka juga tidak bisa bahasa Inggris, bahkan mungkin tidak tahu arti kalimat sederhana seperti “How are you?”
Ketika aku datang, mereka tidak mengerti bahasa harianku, Tapi mereka tidak menolak.
Seorang pria tua menunjuk ke sebuah tenda kecil ger sederhana di pinggiran kemah.
Tak lama kemudian, seorang ibu muncul. Ia diam, tidak menyapaku dengan kata, tapi langsung mengambil argal, kotoran hewan yang sudah kering, lalu menyusunnya di tungku api.
Ia tidak berkata apa-apa, tapi setiap geraknya adalah komunikasi.
Tanpa suara dan tanpa satu kata pun, kami seperti sudah saling mengerti.
Aku duduk di dekat tungku, menghangatkan tangan.
Ia kembali ke dapur kecilnya. Tidak ada percakapan, tapi juga tidak ada jarak.
Dan di situlah letak keindahan perjalanan ini.
Bahwa kehangatan bisa hadir tanpa sapaan, bahwa penerimaan bisa terasa walau tanpa sepatah kata pun.
Akupun sadar bahasa bukan satu penghalang, bukan berarti tidak menyatu.
Aku dan mereka biar tidak berbahasa yang sama, tapi mereka tahu keinginanku.
Memang perjalanan tidak perlu selalu satu bahasa, asal dua hati bisa saling menyatu.***
إرسال تعليق