Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku jarang dengar musik, apalagi sampai bernyanyi. Aku sadar nyanyi bukan bakatku, karenanya diajak teman nyanyi, akupun senyum malu-malu.
Bukan karena aku tak mau, tapi malu.
Memang tak banyak orang punya talenta bernyanyi.
Tapi banyak yang tetap suka bernyanyi—meskipun asal-asalan—asal bisa tampil, asal bisa dianggap gaul, biar tak disebut kurang pergaulan atau nggak keren.
Tak heran, tiap akhir pekan di mana-mana orang ramai joget-jogetan, bernyanyi dengan semangat seolah-olah mereka paling bahagia di dunia.
Kadang aku bingung, apakah mereka memang sebegitu gembiranya, atau itu hanya bentuk lain dari pelarian?
Di tengah gemerlap kota, atau bahkan di desa kecil, karaoke dan musik keras jadi latar belakang kehidupan sosial.
Mungkin karena nyanyi memang bisa menghibur, atau sekadar pelarian dari penat.
Maka kumpul-kumpul pun tak lengkap tanpa musik yang memekakkan telinga, seolah keheningan adalah hal yang harus dihindari.
Tapi lain di sini, di padang stepa Mongolia. Tak ada suara ramai, tak ada dentuman musik yang menyentak.
Hanya hamparan tanah luas, langit tak berujung, dan udara dingin yang membawa kesunyian.
Kalau malam datang, suara yang terdengar justru suara sapi mendengkur, entah dari arah mana.
Suatu malam aku terbangun. Ada irama aneh, seperti dengkuran panjang yang berulang. Awalnya kupikir suara mesin, tapi di sini tak ada itu.
Ternyata itu suara sapi-sapi tidur, mendengkur dalam tempo yang nyaris musikal.
Lucu juga, seperti mereka sedang bernyanyi dalam mimpi.
Aku pun tak perlu cari tahu apa itu suara sapi atau kambing yang mendengkur.
Aku yakin itu salah satu diantara berdua hewan yang menguasai dunia padang rumput.
Mereka bisa jadi raja karena jumlahnya mayoritas. Sebagai kepala suku kambing atau pun sapi. Mereka memimpin dalam gerombolan.
Pagi dan sore memimpin rombongan cari makan, berjemur diri dan tak ada yang keberatan dituntun oleh pengembala.
Ada dua paling depan dan yang lain mengikutinya saja.
Tak ada rebutan posisi, tak ada yang sok tahu atau tampil menjadi ketua rombongan. Dan semua mereka berbagia asal dapat makan.
Tak ada cita-cita jadi konglomerat ataupun kuli bangunan. Asal dapat makan, mereka tak bertingkah macam-macam.
Hidup mereka sangat sederhana, padang rumput menjadi tumpuan harapan.***
إرسال تعليق