Catatan Perjalanan Mongolia (73): Kenangan yang Tidak Pernah Dijepret

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku jarang foto. Bukan karena aku tidak suka foto, bukan pula karena aku ingin difoto. 

Kamera, bagiku, hanyalah alat, dan seringkali tak terpakai, meski pemandangan di depanku terasa layak dikenang.

Aku lebih suka mengamati. Bahkan menghayati. 

Setiap peristiwa, aku nikmati bukan untuk direkam, tapi untuk dirasakan. Karena itu, aku jarang memotret pemandangan. 

Justru makananlah yang sering kujepret, terutama jika menunya baru. 

Ada semacam dorongan kecil untuk mengabadikan sepiring daging domba rebus, atau sate kambing yang mengepulkan aroma asing, sebelum aku mulai menyantapnya.


Aneh memang. Pemandangan luas yang luar biasa tak kugunakan kamera, tapi sepiring makanan sederhana justru kupotret dengan mata terbuka penuh.

Aku tahu dan sadar bahwa lanskap indah, pegunungan, langit, dan padang rumput Mongolia adalah incaran utama para wisatawan. 

Turis gemar memotret dari sudut kanan dan kiri, bahkan berkali-kali. Syukur-syukur langsung bisa ditayangkan di YouTube, Instagram, atau TikTok, sebagai tanda bahwa mereka pernah ada di sana.

Tapi aku? Mungkin pikiranku agak berbeda. Kamera bukan senjataku. 

Aku bukan fotografer profesional yang bisa menjepret gunung dari berbagai sudut, lalu menyulapnya menjadi bentuk burung, harimau, atau singa yang sedang merenung.

Aku hanya seorang pengembara yang lebih percaya pada rasa dari pada hasil. Aku lihat mana bagus? 

Aku hayati dan menikmati, kalau perlu merasakan pemandangannya mana yang berbeda dengan negeri. 

Kadang aku bisa berguman, ”Ah, ini mah biasa-biasa saja.” Tidak bisa bandingkan dengan indahnya lokasi di negeriku. 

Kamera apa akan bereaksi? Bisa juga.

Untuk sekilas kenangan apa salahnya! tapi kadang hati berkata, “Jangan-jangan sampai rumah fotoku pun lupa-lupa ingat.” Karena aku tidak punya album khusus untuk koleksi ingatan yang benar. 

Aku terkesan sesaat kala di Mongolia, aku lihat 2 (dua) pemandu  menggali lubang tanah stepa. Hatiku bertanya, “Buat apa?" 

Apakah  menggali makam buat ternak? Buat upacara kubur sapi dan sapi yang bermusibah.

“Oh bukan”, ternyata untuk toilet darurat tamu sementara. Kata seorang pemandu yang kutanya. 

“Hhmmm, aku tercengang, ini kenangan yang tidak terlupakan, meskipun aku punya kamera, tapi aku tidak sanggup mengabadikan”.

Aku hanya bisa menatap langit dan berdoa, semoga warga Altai punya WC permanen.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut