Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku memang suka berjalan. Ke mana saja. Tak harus ada alasan, tak harus ada rencana.
Aku hanya perlu rasa suka. Itu sudah cukup.
Aku tidak peduli apakah jalan itu akan sulit, apakah medannya curam, atau apakah aku akan kelelahan.
Aku juga tidak butuh penjelasan yang rinci, peta yang lengkap, atau janji tentang apa yang akan kutemui.
Bagiku, perjalanan bukan tentang tempat, tapi tentang apa yang terjadi di dalam diri ketika kaki melangkah ke luar.
Orang sering bertanya, “Mau ke mana?” atau “Apa tujuanmu?”
Aku menjawab sekenanya. Karena sejujurnya, aku pun tidak selalu tahu.
Aku tidak sedang mencari pemandangan indah yang bisa dipotret, atau tempat eksotik yang bisa dipamerkan.
Aku mencari kedalaman—pengalaman yang bisa menyentuh hal-hal yang tak bisa dijelaskan.
Ada yang menyebutnya pencarian spiritual. Ada juga yang mengira ini pelarian.
Tapi bagiku, ini bukan tentang mencari atau lari. Ini tentang mengosongkan.
Mengosongkan pikiran dari rutinitas, dari ekspektasi, dari suara-suara yang terlalu ramai. Supaya aku bisa benar-benar mendengarkan—baik dunia, maupun diriku sendiri.
Sudah menjadi kebiasaan: setiap kali aku pulang dari suatu perjalanan, aku bukan terlihat lelah, tapi justru lebih bersinar.
Ada yang berubah di dalam kepala. Pikiran terasa lebih terbuka, seolah-olah dunia luar menyiramkan kesegaran pada diriku yang semula kering.
Aku pernah terbang ke Afrika—menjelajahi Kenya dan Tanzania. Jaraknya jauh, waktunya panjang, tapi anehnya tubuhku mudah menyesuaikan.
Tidak terasa capek. Tidak jet lag. Seolah badan dan jiwaku memang sudah siap untuk bertualang.
Sementara sebagian orang merasa perlu waktu beradaptasi dengan dunia yang terasa asing, aku justru merasa seperti pulang.
Pulang ke dunia yang mungkin belum kukenal, tapi entah kenapa terasa akrab.
Mungkin karena aku memang tidak sedang mencari tempat, tapi sedang menerima setiap tempat sebagai bagian dari perjalananku.
Dan ketika kita sudah mampu menerima apa pun yang datang, maka perjalanan tak lagi terasa susah amat.
Aku pun awalnya tidak berniat ke Afrika. Kata temanku, ada migrasi hewan di bulan-bulan tertentu.
Kita bisa melihat bagaimana ternak liar berpindah rumah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Mungkin karena cuaca, atau mungkin pula karena makanan di tempat baru lebih menjanjikan.
Maka, berdasarkan intuisi, mereka berombongan berkemas untuk pindah.
Aku jarang melihat kambing, kuda nil, zebra, dan binatang lain dalam jumlah besar berpindah secara masif seperti ini.
Bukan puluhan, tapi ratusan ekor—bergerak seolah dalam eksodus menuju negeri lain.
Beda halnya saat aku berada di Mongolia. Di wilayah stepa yang luas itu, hewan-hewan ternak memang berpindah, tapi bukan karena insting liar atau cuaca ekstrem.
Mereka bukan binatang liar yang tak bertuan, melainkan digiring oleh para penggembala, pagi dan sore hari, dalam ritme yang sudah akrab dengan manusia.
Mereka berpindah bukan karena melarikan diri dari musim, tapi semata-mata untuk mencari makan.
Tidak tergesa, tidak berbondong seperti eksodus, tapi berjalan dalam irama hidup yang lebih teratur.
Ada harmoni yang tenang antara manusia, hewan, dan alam. Dan barangkali, di situlah letak keindahannya: tidak harus liar untuk menjadi bebas.
Aku sadar, dalam setiap perjalanan, kita tidak harus selalu mengejar pemandangan indah, memotret sana-sini, lalu membagikannya ke dunia digital.
Kadang, yang paling penting justru yang tak tampak di layar—yang hanya bisa dirasakan, diresapi, dan diam-diam mengubah cara kita melihat dunia.***
إرسال تعليق