Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku benar-benar tangguh
Pernahkah aku benar-benar kuat dalam hidup ini? Aku ragu. Tak ada jawaban pasti.
Namun satu hal yang kupahami, aku menyukai tantangan. Bagiku, setiap tantangan pasti memiliki jalan keluar.
Tidak ada alasan untuk menyerah, apalagi berhenti sebelum mencoba. Karena itu berarti kalah bahkan tanpa perlawanan.
Tangguh bukan hanya tentang kuat secara fisik. Tangguh adalah keberanian menghadapi hal-hal yang tidak pasti.
Tangguh adalah kemampuan untuk mencari arah saat jalan tertutup, untuk tetap berdiri ketika segalanya terasa berat, dan tidak menyerah saat harapan terasa jauh.
Banyak orang melakukan perjalanan untuk mencari keindahan, kenyamanan, atau tempat-tempat yang populer.
Aku tidak menyalahkan itu. Tapi bagiku, yang terpenting dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang menyertainya: tantangan, pelajaran, dan proses memahami sesuatu yang sebelumnya asing.
Aku tak ingin sekadar berfoto lalu pulang. Aku ingin mengalami.
Aku senang mengenal budaya baru, mencoba makanan lokal, meskipun kadang rasanya hambar atau tak sesuai selera.
Tapi di situlah letak keberaniannya: berani mencoba yang asing, membuka diri terhadap yang berbeda. Dan bagiku, keberanian itu sendiri terasa “enak”.
Di setiap perjalanan, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi pasar tradisional.
Sementara teman perjalananku lebih memilih mall atau kafe, aku lebih suka lorong-lorong sempit tempat warga saling menawar, bercakap, dan hidup.
Aku ingat saat berjalan-jalan di pasar lokal New Delhi. Di sana, manusia tumpah ruah.
Jalanan sempit dipenuhi penjual yang menggelar barang dagangan di lantai—dari rempah, pakaian, hingga mainan.
Aku tak membeli apa pun, karena bukan itu tujuanku. Aku hanya ingin melihat. Dan bagiku, pemandangan semacam itu sudah cukup menjadi oleh-oleh berharga.
Lalu aku ke Agra, kota yang lebih tenang dibanding New Delhi.
Di sanalah aku melihat hal yang unik: sapi dan kuda berjalan santai di tengah jalan raya.
Di belakang mereka, motor, mobil, dan sepeda melaju perlahan, seolah ikut dalam arak-arakan. Tak ada yang membunyikan klakson. Tak ada polisi. Tak ada aturan yang dilanggar.
Hewan-hewan itu tampak seperti raja jalanan, dan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin inilah wajah keseharian di India—kacau, tapi selaras.
Pengalaman yang mirip kutemukan di Olgii, Altai, Mongolia. Di sana, sapi dan kuda hidup berdampingan.
Mereka merumput bebas di tanah stepa yang seolah tak berujung. Tak ada pagar, tak ada batas.
Tak satu pun dari mereka tampak mendominasi. Semuanya tenang. Damai. Seakan setiap makhluk tahu porsinya masing-masing.
Pemandangan itu menyentuhku lebih dalam dari pada lanskap indah mana pun.
Ia mengajarkan sesuatu tentang kesetaraan, tentang hidup bersama tanpa saling menguasai.
Petualanganku membawaku pula ke Pakistan. Di Skardu, aku mencoba teh susu yang katanya khas.
Benar saja, rasanya luar biasa—hangat, pekat, seperti baru keluar dari oven kehidupan. Satu gelas tak cukup.
Aku juga mencoba nasi brasmati dengan wonton buatan lokal. Lidahku merasa asing, bahkan sedikit menolak, tapi aku tidak mundur.
Aku merasa itu bagian dari tantangan. Menikmati sesuatu yang tak langsung cocok adalah seni memahami perbedaan.
Teman-temanku kadang melihatku aneh. Mereka mengira aku ini manusia langka.
“Wisata itu untuk bersenang-senang,” kata mereka. Tapi aku justru mencari hal-hal yang sulit, yang tidak nyaman, yang tidak lazim.
Bukan karena aku tak suka keindahan, tapi karena aku lebih suka kedalaman. Aku menikmati budaya asing yang tak kutemui di Tanah Airku.
Mungkin, bagiku, itu adalah sebuah tantangan. Mungkin juga sebuah drama, tanpa naskah dan tanpa sutradara.
Dan jika ditanya kenapa aku menjalaninya, jawabanku sederhana: karena aku bisa, dan karena aku tidak merasa terbebani.
Apakah itu berarti aku tangguh? Mungkin. Tapi aku tidak butuh label.
Aku hanya ingin terus melangkah. Menemukan, Merasakan dan Belajar selalu.***
إرسال تعليق