Berwisata ke Kuil Api, Azerbaijan, Peninggalan Abad ke-17

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Di zaman purba, api bukan sekadar alat. Api selain berfungsi sebagai sarana untuk memasak dan membakar, tetapi juga memiliki makna yang jauh lebih mendalam.

Secara simbolis dan spiritual, api menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari manusia purba dahulu kala. 

Api melambangkan cahaya dan terang, menjadi penerang di tengah kegelapan malam.

Karena sifatnya yang kuat dan penuh energi, api dipandang sebagai kekuatan yang memiliki dua sisi: dapat memberikan manfaat, juga membawa kehancuran.


Bagi manusia zaman batu, api tidak hanya digunakan secara praktis, tetapi juga dihormati sebagai elemen yang sakral. 

Api diyakini sebagai karunia dari alam atau bahkan dari kekuatan Ilahi. 

Kepercayaan terhadap api sebagai kekuatan suci mungkin telah memudar seiring berkembangnya zaman. 

Namun beberapa tradisi dan budaya masih tetap melestarikannya hingga kini.

Salah satu negara yang masih mempertahankan unsur budaya penyembahan api adalah Azerbaijan. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, warisan kepercayaan kuno terhadap api tetap dihormati sebagai bagian penting dari identitas budaya.


Bukti nyata dari hal ini adalah keberadaan kuil api Ateshgah, yang terletak tidak jauh dari kota Baku. 

Kuil ini, yang dibangun pada abad ke-17 oleh para peziarah dari India, dikenal sebagai tempat pemujaan bagi pemeluk Zoroastrianisme dan Hindu.

Di dalamnya, nyala api abadi menyembur dari tungku bebatuan — sebuah fenomena alam yang dianggap sakral dan mengundang kekaguman.

Bagi orang-orang purbakala, api di kuil ini bukan sekadar elemen alam, melainkan simbol dari kehadiran kekuatan tertinggi.

Api dianggap sebagai perantara antara manusia dan Tuhan Yang Maha Kuasa.


 

Kuil ini, meskipun kini lebih sering dikunjungi sebagai situs sejarah, masih menyimpan aura spiritual yang kuat. 

Mungkin tidak semua orang lagi menyembah api di sana, namun bagi sebagian, kuil ini tetap menjadi tempat perenungan dan ziarah.

Kuil Ateshgah memang berdiri megah pada masanya, namun pertanyaan mendasar tetap menggantung dalam sejarah: mengapa manusia menyembah api? 

Apakah karena ia memberi hangat dan kehidupan? Ataukah karena sifatnya yang tak terduga dan mampu menghancurkan?

Misteri ini tetap menjadi bagian dari manusia untuk mencari makna.

Kini, orang-orang datang ke Ateshgah — ada yang tertarik pada sejarah, ada pula yang terpesona oleh jejak spiritual yang tersisa. 

Apakah kunjungan mereka dilandasi oleh kepercayaan akan kekuatan purbakala? Atau sekadar rasa ingin tahu akan cara hidup masa lampau? 

Dan jika zaman berubah, apakah kepercayaan pada api sebagai persembahan akan tetap menyala di hati manusia?

Semua itu mungkin akan terus menjadi teka-teki. Namun satu hal pasti: di Azerbaijan, nyala api kuno itu belum padam. Ia tetap membara — menjadi pengingat akan masa lalu, cermin bagi masa kini, dan mungkin, petunjuk bagi masa depan. Siapa yang tahu.***

Post a Comment