Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku tak pernah bosan ngeteh di Pakistan. Bukan karena tak ada pilihan lain, dan bukan pula karena harumnya membuatku terpesona.
Aku yakin, teh Pakistan memang berbeda. Aromanya kuat, tajam, menusuk hidung.
Kadang terlalu “strong”, berbeda dengan teh dari kampung halamanku.
Teh Indonesia dari Puncak, Bogor, atau Garut, rasanya lebih mild.
Tak terlalu kuat, tak pula terlalu lembut. Aromanya halus, seperti melati atau jasmine.
Percaya atau tidak, dalam satu jamuan formal, aku bisa menenggak hingga empat gelas teh.
Dalam suasana santai, jumlahnya bisa naik jadi enam, bahkan delapan gelas.
Kadang aku hanya memesan segelas, tapi yang datang satu teko penuh Isinya empat gelas.
Double, mungkin istilahnya. Tapi begitulah, keramahan di Pakistan disajikan lewat secangkir, atau seteko teh.
Aku juga tak lupa kata chai, yang berarti teh dalam bahasa sehari-hari orang Pakistan.
Kadang istilah ini membingungkan, karena dalam bahasa Urdu, teh disebut patti, dan susu adalah doodh. Maka, doodh patti adalah teh susu.
Namun bagi mereka, baik chai, doodh patti, atau apapun namanya, rasanya tetap akrab. Selalu datang hangat, selalu datang manis.
Aku pun tak pernah merasa perlu bertanya. Cukup bilang: “Chai tea, please,” dan yang datang selalu tepat.
Segelas keramahan. Seteko persahabatan.
Aku hanyut dalam rasanya. Dalam hangatnya, yang tak sekadar mengisi cangkir, tapi juga mengisi ruang antara aku dan mereka.***
Posting Komentar