Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku sadar, kini aku berada di dunia nyata. Kembali ke profesi semula.
Kegiatan pun tidak mungkin jeda. Tidak memandang langit, dan tidak menunggu waktu.
Setiap hari penuh dengan jadwal, target, dan memburu waktu.
Bisa saja aku tidak terburu-buru. Bukan karena nasibku lebih mapan, tapi aku rasa, aku bisa atur waktu.
Kadang aku rasa hidup terasa monoton. Itu-itu saja, tidak bervariasi.
Seolah hidup hanya menjalankan apa adanya. Tanpa mengada-ada.
Tanpa kejutan, tanpa ruang untuk berhenti sejenak dan bertanya:
Masihkah aku punya arah?
Kadang memang kita tak mengenal huruf dan kata “puas”.
Kita pun sering lupa apa arti “cukup”. Kata enough hanya lewat di kepala, tapi tak pernah benar-benar singgah di hati.
Kita campuradukkan kalimat “enough is enough”, tanpa tahu kapan waktunya berhenti.
Dan sering kali, kita melupakan satu kata sederhana: bersyukur.
Padahal mungkin, yang kita cari selama ini bukanlah hal-hal baru, melainkan rasa damai dari menerima yang ada.
Aku tak lupa, pernah mampir ke sebuah negeri — di bawah Kerajaan Denmark.
Negeri yang jauh dari negeriku. Di pulau terpencil itu, di tengah pegunungan yang sunyi dan senyap.
Perjalanan pun penuh penat, tapi sampai di sana, segalanya terasa lambat.
Desa kecil itu berada di Kepulauan Faroe. Penduduknya hanya sekitar lima puluh ribu orang.
Jumlah yang bahkan masih kalah banyak dibandingkan jumlah dombanya.
Desanya memang sepi. Tapi tetap punya sinyal. Notifikasi pun datang seperti biasa.
Mungkin itu sebabnya, kita tidak benar-benar merasa sepi, karena malam pun masih bisa berhubungan dengan layar.
Aku pernah minum secangkir kopi capoccino sambil melihat layar. Terasa seperti hidup di kota.
Lain halnya dengan Mongolia. Mayoritas wilayahnya berupa padang dan pegunungan terbuka.
Sinyal seluler jarang terlihat. Antena nyaris tidak ada.
Ponsel pun sering tak bisa berdering karena garis sinyal hanya satu atau malah kosong.
Mungkin, justru karena itu tempat ini hidup lebih senang dan tenang.
Karena notifikasi pun tak pernah datang dan pergi semaunya.
Lalu aku bertanya dalam hati: Apakah hidup di daerah terpencil justru lebih membahagiakan dari pada di kota?
Karena di sana, kita tidak perlu pusing dengan segala gangguan, yang sering kali kita undang sendiri.***
Posting Komentar