Catatan Perjalanan Mongolia (76): Wisatawan Dihadapkan dengan Tantangan Lebih Keras

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Barangkali inilah untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di pedalaman Altai, Mongolia.

Aku datang tanpa persiapan yang matang baik secara mental maupun fisik.

Sejak awal, tantangan datang bertubi-tubi. Beberapa di antaranya bahkan tak pernah terlintas dalam bayanganku, cuaca yang ekstrem, sulitnya mendapatkan air bersih, keterbatasan listrik, hingga perlengkapan pribadi yang ternyata jauh dari memadai.

Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa di Altai nyaris tak ada hotel atau fasilitas penunjang yang layak. 

Yang terlihat hanyalah yurt-yurt sederhana, rumah tradisional masyarakat nomaden. 

Segalanya serba minim, jauh dari kenyamanan yang biasa kutemui dalam perjalanan-perjalananku sebelumnya.

Aku pernah mengunjungi Vinicunca, Cusco, Peru, mendaki Gunung Rainbow yang memesona. 

Ketinggiannya 4.200 meter dari permukaan laut. Aku yakin bisa menaklukkannya, apalagi dibantu kuda sebagai sarana angkut yang lazim di sana. 

Meskipun jauh, aku rela pelan-pelan menjelajahi Gunung Rainbow yang menghadirkan pengalaman baru.

Namun pengalaman itu tidak sekeras ini. Altai memberikan kesan yang berbeda,, lebih liar, lebih sunyi, dan jauh lebih menantang.

Aku sadar, Cusco dan Altai sangat berbeda.

Bagi turis, yang paling penting adalah fasilitas yang memadai. 

Tapi di sini, air dan listrik pun sulit didapat, dan soal angkutan menjadi pertanyaan besar. 

Andaikan seorang wisatawan berjalan sendiri di Altai, tanpa pemandu dan tanpa angkutan umum di jalan, lalu tersesat, tentu akan sulit meminta bantuan.

Warga pun nyaris tak terlihat, tak ada yang lalu-lalang. Dalam situasi seperti itu, siapa yang bisa dimintai tolong?

Hal seperti itu tak akan terjadi di wilayah Cusco. Di sana, hotel dan pemondokan tersedia dengan baik. 

Selain tenda yang disiapkan, para pelancong pun tak perlu khawatir menanti sunset turun. 

Mereka bisa tinggal lebih lama, tak terburu-buru, dan merasa aman, meskipun kadang cuaca berubah sewaktu-waktu. 

Mereka pun bisa turun gunung dengan tenang.

Tapi… apakah Mongolia memungkinkan itu semua?***