Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Mengunjungi Mongolia bukan sekadar menikmati keindahan alam yang menakjubkan, tapi juga menelusuri kehidupan nomaden yang otentik.
Namun, pengalaman ini menuntut kesiapan mental—karena di balik layar keindahannya, tersembunyi berbagai kendala yang harus dihadapi.
Tak semuanya terasa nyaman, terutama dalam perjalanan, apalagi ketika mulai menjauh dari Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia.
Aku pun punya pengalaman serupa.
Perjalananku berawal dari Ulaanbaatar. Dari sana, aku menjelajahi dunia yang terasa seperti antah-berantah.
Banyak yang bertanya, “Mengapa harus jauh-jauh wisata ke sana?”
Di Mongolia, jalan beraspal masih menjadi impian. Jalur darat bukanlah hamparan beton mulus atau aspal mengilap, melainkan tanah terbuka yang bergelombang, berbatu, dan kadang nyaris tak berbentuk.
Ingat—perjalanan di sini bukan sekadar berpindah tempat, tapi benar-benar ujian ketahanan mental dan fisik.
Pertama, jalan yang berliku-liku menuntut kesabaran yang nyaris putus asa.
Kadang rasa jengkel datang tanpa diundang—apalagi saat sadar bahwa tujuan masih jauh di depan.
Entah berapa jam lagi harus berguncang di dalam mobil. Aku pun mulai tak sabar, menatap jam tangan yang seolah tak berdetak.
Rasanya seperti berada di dunia gaib. Kalau bisa, aku ingin menyihir jam itu agar berlari lebih cepat.
Sementara itu, sopir di sebelah hanya berkomat-kamit dalam bahasa yang tak kupahami.
Mungkin ia sedang berkata, “Sabar, sabar… sebentar lagi sampai.” Atau mungkin dia tahu aku sedang gusar—dan memilih diam dari pada berkata-kata yang bisa membuatku makin bingung.
Kami berdua diam seribu bahasa. Seperti ayam dan itik: sama-sama hidup di dunia yang sama, tapi tak tahu harus berbuat apa.
Tapi di situlah letak petualangannya—menguji batas, lalu menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Aku datang ke Mongolia tanpa perencanaan matang. Hanya berbekal bayangan masa kecil tentang dongeng-dongeng dari tanah Mongol: orang-orangnya seperti Eskimo, dunianya asing dan dingin.
Negeri biru yang penuh kuda liar, orang-orang tangguh yang ahli memanah, dan padang luas tempat sapi, kambing, serta domba berkeliaran bebas.
Kini, kisah-kisah itu tak lagi sebatas cerita—aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Aku juga sempat bingung: orang Mongol ini sebenarnya suku apa? Dari tampangnya, mereka sekilas mirip orang Korea—mata sipit, kulit cerah, raut wajah khas Asia Timur.
Tapi ada yang berbeda. Tubuh mereka lebih besar, lebih kokoh.
Tak seperti orang Korea zaman sekarang yang cenderung ramping, postur orang Mongol terasa lebih kuat—mungkin karena hidup di alam terbuka dan kebiasaan menunggang kuda sejak kecil.
Ketika aku sampai di yurt, aku pun jadi ragu—apa bisa tidur dengan nyaman malam ini?
Ranjangnya jauh dari empuk, tak seperti kasur rumah yang biasa.
Matras tipis diletakkan di atas rangka kayu berper. Sekali berbaring, badan terasa seperti menyentuh tanah berumput.
Aku jadi teringat lagu pop Indonesia tahun 1999, “Aku Tak Biasa… aku tak biasa seperti ini…”
Selimutnya terasa berat dan berbau khas—seperti aroma kambing atau domba yang masih menempel.
Aku sempat bertanya dalam hati: apa kain yang membalut tubuhku ini benar-benar bersih?
Aku tak ingin berprasangka, tapi diam-diam berharap: seandainya selimut ini dibeli dari toko online, lengkap dengan tag baru dan wangi sabun laundry.
Namun inilah hidup nomaden yang nyata. Tak biasa—dan justru di situlah pelajarannya.
Situasi ini membuatku sadar: ini bukan sekadar wisata, ini adalah proses adaptasi. Terutama ketika perut mulai protes—dan malam hari menjadi ujian tersendiri.
Tak ada kamar mandi yang bisa “melayani dengan senang” seperti di hotel bintang lima—sambil bersiul, hajat berlomba-lomba menambah saham di closet.
Memang nyata. Saat hasrat buang air besar tak tertahankan, kadang hanya ada kegelapan padang rumput, udara dingin, dan langkah kaki yang pasrah.
Sembarang buang, asal jauh dari yurt—dengan harapan tak menginjak jejak sendiri saat kembali.
Itu pun kadang harus dilakukan berkali-kali, ketika perut bergolak tak menentu. Karena malam, tak tahu arah, asal dekat dengan yurt. Celana pun melorot cepat, tanpa upacara.
Itu kenyataan, fakta tak terlupakan. Dan jangan lupa di yurtpun tak ada nasi uduk, nasi cap cay ataupun nasi kari ayam, bahkan mengharapkan secuil pisang gorengpun tak pernah ada.
Ada dan tak ada, beda tak serupa makanan lokal domba, kambing dan sapi sate-satean pun hanya mimpi sekedar mimpi tak bakalan datang.***
Posting Komentar