Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Pulang. Itulah kata yang paling tepat.
Setelah perjalanan melelahkan hampir dua minggu ke negeri langit biru, tak ada kata lain yang lebih menggambarkan selain: puas dan menggembirakan.
Mongolia bukan destinasi biasa. Ia negara yang jarang dikunjungi, bukan karena tak menarik, tapi karena kurang informasi.
Tak banyak agen perjalanan yang menyusun paket khusus ke sana.
Tiket promo yang menggoda wisatawan untuk berangkat mendadak pun hampir tak ada.
Bahkan bagi sebagian orang, nama “Mongolia” masih terdengar asing dan penuh tanda tanya.
Padahal, begitu kaki menjejak tanahnya, rasa penasaran berubah menjadi kekaguman.
Mengapa? Karena aku belum pernah melihat dunia stepa yang begitu luas.
Belum pernah merasakan dinginnya salju yang menusuk hingga ke tulang.
Belum pernah menatap langit yang membentang setinggi kepala, tanpa gangguan apa pun.
Tapi di sini, di Mongolia, semuanya berbeda.
Kini aku pulang.
Bukan sekadar kembali ke rumah, tapi ke dunia yang riuh kembali—penuh kebisingan yang sudah lama jadi rutinitas.
Di sini, tak ada lagi kambing dan domba yang menyapa di pagi hari, tak ada kuda dan sapi mengembek dari kejauhan.
Yang ada hanyalah memori—tentang keheningan, kesunyian, dan pelajaran hidup yang tak bisa dibeli.
Aku merasa puas, bukan karena tumpukan foto atau video indah.
Bukan karena ingin jadi pencerita ulung yang tahu banyak soal Mongolia.
Juga bukan karena ingin menghapus rasa tak tahu.
Tapi karena satu hal: aku belajar dari kesunyian dan keheningan sebuah negeri yang jauh dari negeriku.
Aku tak pikirkan pulang untuk kembali. Aku pun tak butuh alasan atau penjelasan.
Datang dan pergi, itu kebiasaan dalam perjalanan. Kala waktu senggang, memori otak akan kembali.
Kali ini bukan ke negeri bekas koloni Rusia, juga bukan ke negeri Tibet yang kaya budaya.
Bisa juga ke negeri paling ujung dunia. Tak ada yang tahu kapan.
Tapi dalam ingatanku, perpisahan dalam perjalanan selalu akan kembali lagi—bukan karena kesedihan, bukan karena memori yang tak terekam.
Ibarat lagu Gelang Sipaku Gelang, ada sesuatu yang tertinggal. Bukan barang, bukan peta, tapi rasa.
Rasa yang pelan-pelan tumbuh menjadi kenangan, lalu diam-diam menjadi bagian dari siapa aku kini.”***
Posting Komentar