Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku nyaris tidak pernah tak mandi. Padahal dalam sehari, kadang bisa dua kali, bahkan tiga kali.
Bagi sebagian orang, apalagi yang tinggal di daerah tropis, itu biasa saja.
Mandi adalah rutinitas, kewajiban, sekaligus cara menjaga kesegaran tubuh dan pikiran.
Karena itu, saat berkunjung ke Mongolia, aku tak pernah membayangkan akan melewati dua hari tanpa mandi.
Bukan karena malas, bukan juga karena cuek, tapi karena memang tidak ada air untuk membersihkan diri.
Aku berada di kawasan pegunungan Altai. Jauh dari pemukiman, jauh dari perumahan dalam pengertian yang kita kenal.
Yang ada hanyalah tenda-tenda putih—ger—berdiri berjauhan di atas padang rumput luas, seperti titik-titik putih di permadani hijau.
Toilet pun darurat. Hanya lubang di tanah yang ditutup seadanya.
Air? Digunakan hanya untuk minum, memasak, dan sesekali mencuci tangan.
Mau tak mau, mandi menjadi kemewahan yang harus aku relakan.
Aku sempat heran, mengapa tidak ada air?
Padahal sungai mengalir tak jauh dari situ. Airnya jernih, bersih, seperti cermin untuk bercermin.
Bukankah bisa dibangun pompa atau saluran untuk mengalirkan air ke tenda-tenda?
Lalu aku bertanya dalam hati: Apakah Mongolia negara yang miskin?
Tapi kurasa kata miskin tidak sepenuhnya tepat. Lebih tepat mungkin: sederhana.
Atau, memakai istilah para ekonom: negara berpendapatan menengah ke bawah.
Namun aku tak sedang membawa data. Yang kupunya hanyalah pengamatan dari perjalanan darat panjang, dari Ulaanbaatar ke Altai.
Satu hal yang jelas terlihat: Fasilitas dan infrastruktur hanya terpusat di ibu kota, Ulaanbaatar.
Begitu keluar dari sana, dunia terasa sunyi. Padang yang luas, sinyal telepon sulit, listrik terbatas, dan air yang harus dipakai sehemat mungkin.
Aku sempat berpikir, mengapa mereka tidak tergesa-gesa memodernisasi hidup?
Barangkali karena keterbatasan anggaran negara. Tapi mungkin juga karena pilihan.
Mereka tampaknya masih sangat menghormati gaya hidup nenek moyang: hidup nomaden, berpindah-pindah mengikuti musim, tanpa keinginan buru-buru membangun fasilitas permanen.
Efeknya? Bagi wisatawan seperti aku, tentu serba terbatas.
Tidak ada air mengalir. Tidak ada listrik di malam hari.
Dan tentu saja, tidak ada kamar mandi seperti di hotel.
Tiga malam berturut-turut aku tak mandi. Yang setia menemani hanyalah sebotol air minum dan tisu basah.
Tapi anehnya, aku tetap merasa gembira. Karena di balik keterbatasan itu, aku menemukan hal yang tak bisa dibeli dengan uang: Kehidupan yang jujur.
Udara yang bersih. Malam yang hening.
Dan keramahan tanpa syarat dari orang-orang yang tidak butuh banyak untuk bahagia.
Di situlah aku sadar. Kebersihan memang penting, tapi kebersahajaan jauh lebih menyentuh.
Aku belajar satu hal lagi, hidup tak harus selalu dikejar, kekayaan tak mesti diburu. Kenyamanan dan kemewahan hanya mampir sebentar; tapi ketulusan, akan tinggal lebih lama.***
Posting Komentar