Catatan Perjalanan Mongolia (70): Dapat Makna Ketangguhan Supir Tua di Kaki Pegunungan Altai

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku selalu dengar kata “tangguh”. Tapi aku tak benar-benar mengerti apa sebenarnya arti menjadi tangguh?

Apakah orang yang pintar bisa disebut tangguh? Apakah rajin, cekatan, atau kuat secara fisik itu cukup?

Bisa ya  dan tidak. Tergantung dari mana kita memandangnya.

Tergantung dalam situasi apa kita mengukurnya.

Aku mulai memahami makna “tangguh” itu, bukan dari buku, bukan dari seminar, tapi dari seorang supir tua di kaki Pegunungan Altai,  yang membawa aku menjelajahi  padang yang asing bagiku.

Meskipun aku tak paham bahasa ibunya. Kata “nurut” selalu menemani aku. 

Aku sebut dia tangguh karena seumur hidupnya, dia sesungguhnya tidak perlu lagi menjadi pemandu.

Dia bisa tinggal di rumah, menjaga cucu, atau duduk membaca buku di sore hari.

Ternyata dia bukan orang yang suka diam. Diam, baginya, berarti menyerah — dan orang sekitarnya bisa salah menilai: dianggap tidak mampu.

Padahal, dia masih bisa bergerak dengan lincah, ibarat juara marathon dunia kelas satu.

Angin gunung Altai yang melambai-lambai pun tak membuatnya goyah.

Dia tahu jalan terjal di Altai memerlukan orang yang kuat dan tangguh.

Dia sadar kemampuannya, maka menempuh perjalanan enam atau tujuh jam dianggap waktu yang biasa.

Aku sering memperhatikan jam tanganku sepanjang perjalanan, mungkin untuk mengukur jarak dan waktu.

Tanpa banyak bicara, dia segera menunjukkan waktunya — tanpa perlu kata A, B, C, atau D.

Cara sederhananya itu sudah cukup untuk membuatku mengerti: ketangguhan bukan hanya soal fisik atau keterampilan, tapi juga tentang kesadaran diri dan keberanian menghadapi tantangan, tanpa mengeluh, tanpa pamrih.


Apa aku tangguh? Aku pun sulit menjelaskannya.

Saat aku hendak ke Tibet, banyak orang melarangku.

Mereka bilang, “Jangan,” meski sebagian tampak tidak tahu pasti, atau sekadar ikut-ikutan.

Beberapa bahkan sok tahu tentang lokasi Tibet, padahal sebenarnya masih meraba-raba.

Alasan mereka sederhana: cuaca ekstrem dan minim oksigen.

Kedua hal itu dianggap cukup untuk menghentikan langkah seseorang.

Namun bagi diriku, larangan-larangan itu justru menjadi pertanyaan besar: Apakah ketangguhan diukur dari keberanian menghadapi tantangan yang sulit, atau dari kepatuhan pada ketakutan dan batasan yang diberi orang lain?

Aku pun acuh, atau mungkin pura-pura acuh, terhadap peringatan orang untuk pergi; aku menganggapnya angin lalu.

Aku pernah mendengar cerita tentang Gunung Salju Meili di Tibet, yang menjulang hingga 6.700 meter.

Aku ragu: apakah aku sanggup mendaki, atau setidaknya melihatnya dari jauh?

Rasa ragu itu justru membuatku berpikir lebih dalam tentang ketangguhan.

Bukan berarti aku harus menaklukkan setiap puncak atau membuktikan diri.

Ketangguhan juga berarti mengakui batas kemampuan, tetapi tetap berani melangkah, menghadapi ketidakpastian, dan tidak membiarkan ketakutan orang lain menentukan jalanku.

Aku pun berjalan sesuai kehendakku, mengikuti kata hati dan pikiranku.

Pikiranku membimbingku ke arah yang benar-benar menuntut ketangguhan: keberanian mengambil langkah sendiri, meski orang lain meragukan.

Aku tidak takut melangkah, dan aku tidak membiarkan peringatan serta keraguan menghentikan hasratku untuk menjelajahi Tibet sejak dulu.

Kini aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku tangguh?

Mungkin pertanyaan itu bukan hanya untukku, tapi juga untuk siapa pun yang membaca, yang mampu merasakan langkah-langkahku, dan memahami arti keberanian dalam menghadapi ketidakpastian.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut