Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Kata “sederhana” — semua orang paham. Dan sering sekali diucapkan.
Tapi sayangnya… jarang benar-benar dijalani.
Orang tua pun sejak dulu selalu mengingatkan: "Jangan hidup foya-foya.” Karena hidup itu seperti roda — kadang di atas, kadang di bawah.
Namun sering kali, nasihat itu hanya menjadi kalimat hafalan, bukan sikap dalam perbuatan.
Kita tahu arti “cukup”, tapi tetap saja merasa kurang.
Kita tahu kemewahan tak menjamin ketenangan, tapi terus saja mengejarnya tanpa henti.
Aku baru benar-benar merenungi makna itu ketika berada di Mongolia saat aku duduk di bebatuan besar di Olgii, Altai.
Di sana, kata “sederhana” tidak diucapkan — tapi dijalani.
Yang kurasakan bukan hanya kesederhanaan, tapi pemahaman dalam tentang makna “cukup”.
Sampai akhirnya aku bertanya dalam hati:
Apakah suku Kazakh itu bisa disebut miskin?
Mereka tidak punya rumah permanen, tidak tinggal di bangunan mewah.
Tenda-tenda (ger) berdiri di padang luas, tanpa listrik stabil, tanpa kamar mandi keramik.
Mobil pribadi nyaris tak terlihat, motor pun bukan bagian dari keseharian.
Tapi mereka punya ratusan ekor domba, kambing, sapi, dan tentu saja: kuda.
Itulah kekayaan mereka. Aset hidup yang memberi makan, mengantar perjalanan, dan memberi arah hidup.
Aku terus berpikir: Apakah mereka “cukup”? Apakah mereka “sederhana”? Atau… apakah mereka “miskin”?
Tiga kata itu terlihat serupa, tapi berbeda makna.
Bagi suku Kazakh, lebih baik tidak punya rumah permanen dari pada tidak punya domba dan sapi.
Karena hidup mereka adalah hidup nomaden, berpindah-pindah mengikuti musim.
Mereka tak butuh rumah mewah dan kokoh.
Bagi mereka, rumah hanyalah tempat untuk berhenti sejenak — sebelum kembali menggembala.
Lalu aku pun berpikir lebih dalam: Apa sebenarnya arti dari kata “sederhana”?
Apakah punya rumah besar berarti mewah?
Apakah tidak punya berarti sederhana?
Mungkin... sederhana bukan soal ukuran rumah, bukan tentang banyak atau sedikit harta, tapi soal rasa cukup.
Cukup untuk hidup, cukup untuk tenang, cukup untuk tidak merasa kekurangan.
Mungkin juga, sederhana bukan berarti “tidak punya”, tapi “punya secukupnya”.
Bukan soal minimnya fasilitas, tapi tentang tidak berlebihan.
Dan bisa jadi, sederhana adalah hidup yang layak — yang tidak mewah, tapi cukup untuk membuat kita tidak lupa bersyukur.
Jadi, bisa dikatakan: Suku Kazakh itu hidup sederhana — dan cukup.
Karena kekayaan mereka bukan pada beton dan dinding, tapi pada domba, kuda, dan sapi: aset hidup yang terus bergerak, yang memberi makan, dan memberi arah.
Mereka tak memiliki banyak hal, tapi justru tidak kekurangan.***
Posting Komentar