Catatan Perjalanan Mongolia (67): Sore Tanpa Layar

 

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Mungkin terasa sudah…Efek pemakaian alat-alat pintar bukan hanya pada anak-anak, tapi juga pada orang tua.

Keduanya mulai gelisah. Tanpa sadar, gawai tak lagi sekadar alat pencari informasi.

Ia dibawa tidur, di meja makan, menyala di ruang tamu, dan diam-diam… menggeser posisi orang terdekat.

Mungkin tak terasa. Mungkin semua ini hanya dianggap “normal” oleh tua dan muda.

Padahal yang hilang satu per satu adalah: tatapan mata, cerita sebelum tidur, gelak tawa yang tak lewat speaker, dan rasa cukup, cukup dengan kehadiran sesama.

Aku sadar, ini tak mudah dihindari. Segala upaya telah dicoba, membatasi waktu layar, menciptakan aturan di rumah, tapi tetap saja, gawai itu begitu kuat tarikannya.

Anak pun kadang jarang bertemu dengan orang serumah. Padahal ruang hanya bersebelahan, atau bahkan berdekatan.

Tapi diam yang memisahkan kami, bukan tembok. Masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri.

Mungkin lain dengan saat aku di Mongolia.

Anak-anak lebih suka bermain di taman ria, di tanah terbuka. Tak ada yang melihat layar.

Mereka bergembira, terasa bahagia, dan satu sama lain tidak mencari sinyal.

Sore yang indah, langit yang biru. Anak dan orang tua saling merangkul, saling bercerita.

Tak ada yang menunggu gawai berdering, tak ada yang melihat layar untuk mencari domba, tak perlu gawai untuk memanggil kuda.

Anak dan orangtua saling menatap, dan tanpa panggilan pun bisa bertemu.

Kadang, hanya dengan isyarat, semua mengerti.

Mereka benar-benar bersama. Semuanya hadir tanpa banyak bicara, dan itu pun sudah cukup.

Kehadiran mereka adalah bahasa. Satu gerak kepala, satu senyum kecil, atau sekadar duduk berdampingan, sudah menunjukkan bahwa mereka saling terikat.

Kompak, tanpa perlu dikatakan.

Sekadar berkata “halo”, sudah terasa ikatan batin yang kuat, karena mata mereka saling melihat, dan hati mereka saling terbuka.

Aku pun merenung: Masih mungkinkah itu terjadi di negeriku?

Masih bisakah anak dan orang tua, yang kini duduk di ruang yang sama, tapi terpisah oleh layar… kembali menemukan kehangatan seperti dulu?

Mungkin kita pasrah. Atau mungkin memang tak berkutik, karena teknologi hadirnya mendadak, menyusup begitu cepat, hingga kita tak sempat bertanya: apa yang sedang kita korbankan?

Semua ingin mengejar informasi. Bukan hanya yang muda, tapi juga yang tua.

Kadang sekadar ingin tahu, kadang hanya takut tertinggal.

Berita-berita pun sering ditelan bulat-bulat, tanpa filter, tanpa sumber yang akurat.

Dan perlahan, bukan hanya waktu yang habis tapi juga kepercayaan.

Kita hidup dalam dunia yang saling terhubung, tapi justru terasa jauh.

Semua terdengar, tapi tak banyak yang benar-benar didengar.

Semua terlihat, tapi tak banyak yang benar-benar dipahami.

Lalu, efek samping pun berlalu. Tak ada niat untuk memperbaiki, bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak mampu.

Berbagai aturan pun tinggal benda mati, karena memang tak ada niat, atau hanya sekadar janji-janji melulu.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut