Catatan Perjalanan Mongolia (66): Tawa Tanpa Teman di Sampingnya — Sebuah Perjalanan Akhir

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku tak tahu kenapa… Pelan-pelan aku mulai sadar, kini aku bukan lagi di dunia stepa.

Dunia itu… dunia yang penuh tanda tanya.

Ya, padang rumput yang membentang tanpa ujung. Ya, udara yang kering dan menusuk.

Ya, suhu yang tak mengenal ampun. Dan ya… mungkin juga budaya mereka, cara hidup mereka, keheningan mereka yang keras tapi jujur.

Semuanya itu masih menyisakan seribu tanda tanya di pikiranku.

Apakah mereka semua mengenal dunia maya? Atau hanya mendengarnya — dari teman, tetangga, atau dari penjelajah yang datang dan pergi, seperti aku?

Aku tidak sempat bertanya, tapi kulihat sendiri, dengan mata kepala, tanpa perlu alat pintar, tanpa ponsel, tanpa layar tebal.

Anak-anak itu bermain dengan girang. Bersama.

Tanpa suara notifikasi. Tanpa perlu jaringan.


Mereka menyanyikan lagu bersama, seperti anak-anak di negeriku dulu, yang melantunkan “Potong Bebek Angsa” dengan tertawa lepas.

Berlari di halaman, bermain peran, petak umpet, hingga lupa waktu.

Aku pun bertanya dalam hati: Inikah dunia anak-anak yang sesungguhnya?

Dunia yang sederhana, tapi penuh kegembiraan?

Tapi… anak-anak di negeriku, di kota, di desa, masihkah mereka seperti itu? Atau sudah berganti arah?

Temannya bukan lagi tetangga sebelah, melainkan layar, video game, obrolan daring, dan karakter virtual.

Masihkah mereka akrab seperti dulu?

Mungkin jawabannya cukup mengejutkan, mereka kini berteman dengan layar kecil dan besar, bercakap lewat emoji dan tawa yang berlebihan.

Kadang… orang di sebelahnya hanya bisa bertanya-tanya, melihat anak itu tertawa sendiri, terpisah dari dunia nyata.

Fokus mereka telah berpindah, bukan lagi pada manusia di sekitarnya, melainkan pada dunia di balik kaca gawai. 

Apakah dunia ini dunia yang nyata? Atau hanya dunia sementara?

Aku merenung -- merenung tanpa kesimpulan.

Perjalananku kali ini tak hanya membawa gambar-gambar besar tentang padang luas dan langit biru, tetapi juga membawa pulang keheningan, kesunyian, kegembiraan, ketahanan, dan kekuatan anak-anak domba stepa, sesuatu yang tak mungkin dimiliki anak-anak kota.

Lalu muncul pertanyaan yang terus bergema: Mana yang lebih membahagiakan Anak-anak dunia stepa… atau anak-anak kota?***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut