Catatan Perjalanan Mongolia (40): Sopir, Bos Pemandu Arah

Oleh: Iman Sjahputra

JAKARTA - Aku sadar: tak mungkin menjelajahi Mongolia, apalagi Altai dan Olgii, tanpa sopirku—seorang lelaki tua yang bijaksana. 

Ia bukan sekadar pengemudi. Ia pemandu arah.

Dia arif, dan tak pernah gentar.

Jalan berliku, penuh batu dan debu, kadang seperti tak berujung. 

Tapi dia tak pernah komentar. Bukan karena tak mau bicara. Bukan pula karena bisu.

Hanya saja, di antara padang stepa dan langit yang menggantung rendah, berbicara seolah-olah menjadi sesuatu yang tabu.


Percuma, seperti berbisik kepada angin yang pemalu.

Aku suka memandang dari sampingnya.

Dia tua, tapi tak renta. Tangannya kokoh memegang setir. 

Sorot matanya tajam, tapi tak menyelidik. Ia tahu betul medan yang kami lintasi, seperti mengingat punggung tangannya sendiri. 

Ia tak perlu peta. Ia tak perlu bicara.

Teman seperjalananku sering memandangnya diam-diam.

Bukan karena dia tampan, tidak juga karena berbeda dari orang Mongol lainnya.


Tubuhnya tinggi, tapi tak berlemak.

Wajahnya keras, seperti tanah beku di musim dingin—tapi bukan tanpa keriput kehidupan.

Seumur itu, aku justru merasa kasihan.

Dia menjadi sopir di tanah yang nyaris tak bertuan.

Angin lebih keras dari pada atasan mana pun. Dan langit tak pernah benar-benar bersahabat.

Suatu sore, aku memberanikan diri bertanya: sudah berapa lama dia hidup di bumi ini?

Aku ragu. Seumur dia, mestinya sudah duduk tenang di rumah, bukan menyetir menembus jalur terjal menuju Olgii.


Ia tak sepantar dengan sopir-sopir lain yang sering kulihat di Altai—mereka muda, tegap, dan bertenaga.

Dia lain. Seperti bayangan yang menyatu dengan tanah.

Tapi bagaimana bertanya, kalau sejak dari Ulaanbaatar hingga mendekati perbatasan Kazakhstan, ia tak mengucap sepatah kata pun?

Jangankan suara—lirikan pun terasa enggan. Seolah berbicara adalah kemewahan yang sudah lama ia tinggalkan.

Aku coba mengangkat jari—mungkin lima, lalu enam—lalu menunjuk dadaku, lalu langit.

Isyarat yang kacau. Tapi tak ada pilihan.

Dia menoleh pelan. Mata kami bertemu.

Lalu ia mengangkat tangannya. Lima jari. Kemudian satu lagi. Lalu tiga.

Senyumnya tipis. Nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk menenangkan.

Mungkin dia ingin bilang: enam puluh tiga. Mungkin juga hanya permainan jari. Lima tambah satu tambah tiga.

Membiarkanku tertegun dan menebak-nebak.

Aku mungkin paham. Atau mungkin tidak.

Tapi begitulah komunikasi kami. Gerakan tangan yang belum tentu bermakna. Senyum yang bisa berarti apa saja.

Akupun anggap dia bossku. Karena tak pernah aku beri aba-aba, dia penentu arah. Dia membawa kami kemana-mana.


Dia adalah bosku yang hebat hidup nomaden, tergantung padang.

Tempat berpijak berpindah-pindah. Nutag bukan lagi titik central melainkan arah hati yang membara.

Bosku bukan sekadar pemandu arah. Dia juga penjaga stepa.

Orang luar anggap dia tenaga lokal yang tahu semua arah. 

Dia bijak dan tak perlu menunggu perintah. Itu sebab dia selalu memandu, meskipun sudah paruh baya.***

Post a Comment

Klik di atas pada banner
Klik gambar untuk lihat lebih lanjut