Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku tak ingat sudah berapa kali aku numpang buang hajat. Bukan karena perutku tambah gembung, atau angin stepa menelan ususku tanpa sebut.
Bukan pula karena aku manja dengan makanan lokal—yang banyak, tapi terasa asing di mulut.
Rasanya, setiap sendok pertama adalah pertaruhan antara rasa ingin tahu dan rasa pura-pura suka.
Aku sudah berusaha jongkok di rumput berturut-turut. Yakin dan tak yakin, aku bisa mengizinkan perutku melegakan isinya.
Tapi semesta kadang tak memberi restu. Entah karena angin terlalu dingin, tanah terlalu terbuka, atau rasa malu pada langit yang terlalu lapang.
Aku selalu berusaha sempurna dalam hidup ini. Sampai buang hajat pun perlu perhitungan—kalau bisa, ya harus sempurna.
Tak biasa memang di ruang terbuka, apalagi di atas rumput tak bertuan.
Untuk duduk saja terasa sungkan. Bukan karena malu, bukan pula karena soal boleh atau tidak.
Aku akhirnya sadar, mengapa hewan-hewan seperti domba, kerbau, kambing, dan kuda begitu ringan menginvestasikan seisi perut mereka.
Mengapa harus lain dengan aku?
Lucu juga kalau kupikir ulang. Di tanah seluas ini, justru aku yang merasa sempit.
Padahal semua makhluk lain begitu ringan menumpahkan apa yang tak lagi dibutuhkan tubuh.
Aku pun tak mau kalah. Tak melihat ke kanan atau kiri. Aku lepas saja, tanpa membendung, tanpa basa-basi.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya sejak tiba, aku merasa… selamat.
Bukan karena perutku lega, tapi karena aku yakin dan pasti, tanpa izin sesuka-suka.***
إرسال تعليق