Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku jarang makan daging yang berlemak. Bukan karena takut gemuk, bukan juga karena berminyak.
Tapi kata orang, jangan terlalu sering makan makanan berminyak, jantung bisa tersumbat, kolesterol bisa membludak.
Aku tak tahu apakah itu benar, fakta atau mitos? Soalnya, waktu general check-up, semua hasil kesehatanku baik-baik saja.
Tapi mungkin omongan orang itu ada benarnya juga. Maka aku pun mulai menerapkan pola makan sehat tidak sering makan daging berlemak, tidak banyak makan jeroan, harus rajin makan sayur dan buah.
Seolah-olah ikut diet. Seolah-olah sedang ingin hidup sehat.
Tapi… apa itu mungkin?
Waktu aku berada di Siantar, aku bingung. Terlalu banyak pilihan kuliner, dan semuanya tampak autentik, beraroma tempo dulu.
Bakmi, kuetiau, nasi dan lontong sayur, mie gomak, lontong balap, babi panggang, semua hadir dalam ingatan.
Semuanya ingin kucoba. Terlalu banyak pilihan, dan kesannya semua enak.
Tapi dari semua yang kusebut, satu yang tak bisa kulupakan, bau asap yang mengepul, membubung pelan-pelan, menembus hidung dan hati.
Itu bukan sekadar makanan. Itu babi panggang Batak. Dan aku menyerah.
Apalagi beberapa orang merekomendasikan langsung tempat makannya. Aku makin tergiur.
Semua pesan soal lemak, kolesterol, dan hidup sehat, hilang seketika. Aku pasrah pada rasa dan kenikmatan.
Seporsi babi panggang “Silindung” di Siantar berhasil menggoda lidahku.
Dagingnya garing di luar, lembut di dalam, sambal andalimannya menggetarkan lidah.
Belum lagi saksang, diguyur darah, dimasak rempah, bukan hanya membuat perutku bergetar, tapi juga membuat lupa akan program hidup sehat.
Pelayan lalu datang lagi, membawa tawaran baru: "Mau coba naniura, Pak? Ini sashimi Batak, ikan mas mentah, dibumbui andaliman dan jeruk jungga.”
Tapi perutku sudah berkata, “Jangan, jangan…”
Aku mengangkat tangan sambil tersenyum. “Sudah tak muat,” kataku, mengakhiri pembicaraan.***
إرسال تعليق