Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Saat mengunjungi sebuah negara, pertanyaan yang muncul hampir selalu sama:
Apa yang bisa dinikmati di sini? Apakah ada pemandangan alam yang memukau? Jalur hiking yang menantang? Atau pantai yang memikat?
Bagaimana kehidupan masyarakat lokal? Dan apa yang unik dari budaya serta kuliner setempat?
Pertanyaan-pertanyaan itu membayangi siapa saja yang mencintai petualangan dan keberagaman budaya. Mendaki gunung, menyusuri jalur liar, terbang dengan parasut, berenang di laut lepas, berjemur di bawah matahari, hingga menyelami kehidupan sosial masyarakat—semuanya adalah potongan kecil dari perjalanan yang ingin kita simpan dalam ingatan.
Namun, tak ada tempat yang benar-benar sempurna.
Setiap sudut dunia punya sisi terang dan bayangnya, sebagaimana setiap pelancong punya cara sendiri dalam melihat dan mengalami.
Bagi sebagian orang, bepergian hanyalah soal mencari kesenangan dan tantangan.
Namun sejatinya, hidup itu sendiri adalah perjalanan—dan jika bisa, perjalanan itu sebaiknya membawa makna.
Lalu, apa arti sebuah negeri seperti Mongolia?
Bagi banyak orang, namanya terdengar asing. Mongolia jarang muncul dalam daftar destinasi wisata populer. Tapi justru karena itu, negeri ini menyimpan daya tarik yang tak biasa.
Negeri luas yang belum banyak dijamah, tempat sunyi yang mengundang untuk dijelajahi perlahan.
Dunia yang tidak menawarkan hiruk-pikuk, melainkan ketenangan, ruang tanpa batas, dan langit biru yang tak bertepi.
Apa yang bisa dicari dari Mongolia? Padang rumput yang terbentang sejauh mata memandang?
Udara dingin yang menggigit kulit? Atau gaya hidup nomaden yang tampak sederhana namun penuh filosofi?
Mungkin jawabannya bukan pada lanskap atau destinasi, tapi pada cara kita meresapi dunia yang berbeda.
Sebuah tempat yang mengajarkan kita untuk mengalami dengan lebih lambat, lebih jernih, dan lebih dalam.
Rasa penasaran pun tumbuh: Apa yang akan kutemukan di tanah kelahiran para penunggang kuda yang pernah mengguncang dunia?
Apakah sejarah mereka yang agung? Budaya yang bertahan dalam kesunyian? Atau filosofi hidup yang diwariskan melalui langkah-langkah nomaden di tengah padang?
Inilah yang ingin kuselami dalam petualangan ini.
Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia, memang bukan kota megah seperti New York. Tapi bukan berarti ia tak berarti.
Meski tak gemerlap oleh lampu-lampu malam, kota ini memancarkan ketenangan yang tulus—terutama di jantungnya: Sukhbaatar Square, alun-alun utama yang menjadi ruang napas kota.
Malam itu, suasananya begitu bersahaja namun hidup. Anak-anak berkumpul, bermain sepeda, mengendarai motor listrik kecil. Mereka tertawa lepas, berbagi kebersamaan.
Sebagian dari keluarga penggembala, sebagian dari pinggiran stepa, namun di sinilah dunia modern menyentuh mereka tanpa merenggut akar budaya.
Mereka tak berbeda dari anak-anak mana pun di dunia—berlari, tertawa, menikmati malam tanpa beban.
Di sisi utara alun-alun, berdiri megah patung Genghis Khan, duduk di singgasananya di depan Gedung Parlemen.
Tak jauh darinya, patung Damdin Sukhbaatar menunggang kuda—pahlawan revolusi yang menjaga semangat bangsa.
Anak-anak itu menatap patung-patung itu dengan mata penuh kagum.
Mungkin mereka bangga menjadi keturunan para penunggang kuda. Bangga hidup di tanah luas ini—Mongolia.
Dan siapa peduli dengan perang di belahan dunia lain—tentang Israel, Iran, atau konflik yang membakar layar televisi?
Who cares? Mungkin begitu isi benak mereka malam itu.
Dunia boleh gaduh, tapi malam di alun-alun ini tetap damai. Mereka punya tawa. Mereka punya tanah air. Mereka punya langit biru di atas kepala.
Mereka tahu mereka baik-baik saja. Mereka tahu mereka tak diapa-apakan. Karena mereka—bangsa penggembala—pernah mengenal arti perang.
Mereka tahu bagaimana rasa kehilangan, dan mereka tahu bahwa hidup bisa tetap berjalan dalam kesederhanaan dan ketenangan.
Filosofi hidup di daratan tinggi ini bukan tentang melawan, melainkan tentang bertahan, tentang mengalir bersama alam, dan tetap menjaga martabat di tengah sunyi.
Mereka tidak perlu menjadi siapa-siapa. Dan yang terpenting: mereka tidak perlu mengasingkan siapa pun pula.***
Posting Komentar