Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Bicara kota tua, ibarat kembali zaman batu. Tembok yang lusuh berbalut debu.
Penyejuk ruangan hanya lobang angin kecil yang berbisik pelan dan tiada menentu.
Di sana Sheki caraven serai berdiri berlomba dengan waktu. Berabad- abad bertahan, waktu terus berputar hingga masuk era modernisasi.
Jendela kaca hanya sebagai pajangan, lebih- lebih sinar matahari tak pernah tembus ke ruangan yang penuh debu.
Masa itu, kenyamanan merupakan kemewahan. Pedagang jalur sutera yang berniaga jarak jauh tak sekedar butuh istirahat. Tapi tempat berteduh.
Ketenangan memang diperlukan saudagar-saudagar. Kasur yang empuk. Apalagi bisa gantikan alas tikar yang lusuh.
Bukan itu saja yang dicari. Ketenangan dan keheningan meskipun menghadap tembok batu yang mengeras.
Misi dagang bukan memburu suatu kejayaan, tapi harapan agar bisa pulang membawa sedikit sangu untuk keluarga..
Zaman berganti, jalur sutera telah berubah peran. Tempat teduh sekedar istirahat hanya tinggal kenangan. Pelan-pelan memudar termakan waktu.
Bangunan Sheki Caraven Serai kini jadi hotel seadanya. Bukan lagi untuk pengelana di zaman jalur sutera. Melainkan saksi peninggalan sejarah secara diam-diam bagi mereka yang ingin mencari jejak sunyi di jantung Azerbaijan.
Lalu seperti unta di jalan sutera. Pelan. Tak terduga, kendaraan bus yang penulis tumpangi balik ke hotel di kota Baku pun berhenti tanpa ada aba-aba.
Mogok di tengah jalan. Tak tahu kenapa?
Kesal dan kecewa? Tentu saja. Siapa yang perlu dipersalahkan? Sopir bingung, Tour leader pun geleng- geleng kepala.
Tak tahu harus bagaimana? Dan tanya dimana? Boleh jadi lagu Ebiet benar, mari bertanya pada rumput bergoyang.
Akhirnya kita semua harus sabar menunggu bus pengganti yang lain datang seperti kalifah menunggu angin baik untuk menjelajah jalan sutera.***
Posting Komentar