Sepotong Gambaran Pertemuan Tertutup Para Kardinal Dalam Film Conclave

Jakarta, JIA XIANG - Conclave atau pertemuan para kardinal dari seluruh dunia di Vatikan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.

Pertemuan tertutup itu untuk memilih Paus baru, setelah pemakaman Paus Fransiskus yang meninggal tanggal 21 April 2025. Adapun pemakamannya pada tanggal 26 April 2025.

Karena Conclave dilaksanakan tertutup, tidak banyak publik yang mengetahui prosesnya.

Namun beberapa film melukiskan situasi pertemuan tersebut.

Yang terbaru film berjudul Conclave. Film ini sudah diputar di bioskop di Indonesia pada awal Maret 2025.

Dalam Academy Award, Conclave masuk delapan nominasi. Namun  film garapan Edward Berger itu memenangkan satu piala Oscar buat Skenario Adaptasi Terbaik.

Conclave yang merupakan drama kepausan jadi perbincangan setelah  Paus Fransiskus wafat.

Film itu diangkat berdasarkan novel karya Robert Harris. Ralph Fiennes berperan sebagai Kardinal Lawrence, Dekan College of Cardinals, yang bertugas mengawasi pemilihan paus baru.

Makanya muncul pertanyaan, seberapa akurat film garapan Edward Berger itu dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi di Vatikan?

Berbicara dengan Entertainment Weekly tahun lalu, Berger menekankan kekayaan dari penelitian yang dilakukan oleh Robert Harris. Termasuk kunjungan ke Vatikan, dan berbicara dengan konsultan mereka di lokasi syuting yang membantu memastikan keakuratan dalam hal tradisi dan ritual Katolik.

"Konsultan berada di samping kami setiap hari," kata Berger pada EW.

Dia juga menggarisbawahi secara khusus tentang aturan dan tradisi yang menyertai wafatnya seorang Paus, seperti penghancuran cincin dan penyegelan kamar Paus yang wafat.

Aktor Ralph Fiennes juga bicara soal keinginan buat melakukan ritual dengan sebenar-benarnya dalam film tersebut kepada National Catholic Reporter.

"Jika kamu menggambarkan organisasi apa pun, ambil contoh militer, ada cara mereka mengenakan seragam dan memberi hormat. Saya benci ketika itu tak dilakukan dengan benar atau jika itu berantakan. Bagi mereka yang berada di tempat-tempat ini, elemen-elemen itu penting," ungkap Fiennes.

Berger dan timnya bekerja keras buat menciptakan kembali Kapel Sistina dan Casa Santa Marta. Kapel Sistina adalah tempat diadakannya konklaf, sedangkan Kapel Santa Marta berfungsi sebagai tempat tinggal bagi para kardinal selama mereka berada di Kota Vatikan.

Meskipun Kapel Sistina benar-benar mencerminkan kenyataan, Berger hanya bisa menggunakan set buat mengekspresikan tema-tema film itu. Casa Santa Marta, misalnya, dirancang sebegitu detail agar terasa sangat dingin, dan tertutup rapat.

Meski begitu, ada beberapa bagian yang dianggap menyimpang dari kenyataan yang dipotret di film itu. Berbicara dengan New York Times, pakar Jesuit Pendeta Thomas J. Reese, mengutip tata letak meja di dalam Kapel Sistina, serta warna karpet yang gak akurat.

Conclave juga menuai reaksi keras dari beberapa tokoh Katolik terkemuka karena dianggap mempromosikan sudut pandang progresif, yang bikin banyak orang bertanya-tanya, apakah konklaf yang sebenarnya didorong oleh gagasan konservatisme dan liberalisme seperti pemilihan politik.

Beberapa kritikus merasa Conclave, lebih merupakan film politik AS daripada tentang Gereja. William McCormick, seorang pendeta dan penulis, bikin esai untuk Church Life Journal Universitas Notre Dame, menekankan bahwa Gereja gak ada melayani program politik apa pun.

"Film ini melihat Gereja sebagai calon juara ideologi duniawi, tempat di mana semacam visi politik dapat menang. Ini adalah teologi yang buruk. Film ini keliru menganggap implikasi sosial dan politik Gereja sebagai sifat yang sepenuhnya politis dan sosial," katanya.

Terlepas penilaian tersebut, film Conclave memberi sepotong gambaran pertemuan tertutup tersebut.

Tak heran penontonnya langsung melonjak setelah Paus Fransiskus wafat.[JX/Win]

Post a Comment