Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Menyusuri lereng lorong Hawker Larut Matang memang satu pengalaman yang menarik.
Bukan karena banyaknya lapak dagangan, bukan juga karena jualan yang beraneka ragam, sehingga sekali pandang saja mampu menggugah selera.
Namun ada satu hal lain yang mencuri perhatian, malah membuatku risau. Sebuah pertanyaan muncul di benak: mengapa para pemilik kedai tidak berkomunikasi antara satu sama lain?
Aku melihat dua kedai berdiri berseberangan, tetapi di antara mereka seolah-olah wujud pembahagian wilayah yang tidak pernah diucapkan.
Kedai minuman yang satu hanya boleh menempati ruangnya sendiri, seakan-akan ada batas teritorial yang tidak boleh disentuh.
Padahal mereka semua berada di bawah satu pengelola Hawker Larut Matang.
Kursi dan meja menjadi bukti perang dingin itu, diam, namun jelas. Seolah-olah warna perabot pun menentukan garis kekuasaan yang tidak boleh dilanggar.
Dalam dunia persilatan, keadaan ini mirip perebutan wilayah para tokoh Kang Hau, masing-masing menjaga sudutnya seolah-olah musuh sentiasa mengintai.
Lalu aku bertanya dalam hati, adakah ini hanya soal dagang, atau cerminan kecil sifat manusia?
Karena ketika aku pesan 1 kopi hitam, duduknya pun harus di depan meja kursi penjual.***










Posting Komentar