Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Sejak menginjakkan kaki di kota Taiping, Perak, langkahku tiba-tiba menjadi lambat.
Bukan karena aku lelah, bukan pula karena macet di jalanan.
Rasanya seperti diriku berubah menjadi sebuah remote yang kehilangan bateri; gerakku melambat, seakan ada tangan halus yang menahan laju langkahku.
Aku tertegun oleh kesunyian. Kota kecil ini seperti menahan napasnya sendiri.
Mengapa begitu sepi ketika fajar sudah menyingsing? Adakah hari masih terlalu gelap, atau matahari sedang ragu-ragu menampakkan diri di balik bukit?
Rasa ingin tahuku pun terusik. Barangkali jawabannya ada di pasar tradisional—tempat biasanya denyut kehidupan kota bermula.
Aku mulai berjalan menyusuri trotoar di depan deretan ruko. Bangunan-bangunan tua itu, kebanyakannya peninggalan zaman kolonial, berdiri diam tanpa tanda kehidupan.
Lantainya beralas keramik lama; ada yang mulai retak, ada yang hanya semen berusia puluhan tahun.
Tak tampak seorang pun keluar atau masuk dari pintu-pintu ruko yang masih tertutup rapat.
Mungkin memang masih terlalu pagi, pikirku. Jam tangan menunjukkan pukul 7.30 pagi.
Sunyi memang, tapi lengangnya terasa seperti subuh yang belum sepenuhnya selesai.
Tak seperti kota besar lain yang sibuk dengan hiruk pikuk lalu lintas di pagi hari.
Tapi Taiping memang berbeda. Sesampai di pasar, aku menoleh ke kanan dan kiri.
Lapak-lapak penjual kebutuhan harian—sayur-sayuran, daging, ikan, hingga rempah, masih berdiri dengan kesederhanaannya, namun belum banyak pengunjung.
Beberapa pedagang tampak baru menata barang dagangan, sementara sebagian lainnya duduk menunggu pelanggan pertama hari itu.
Pasar yang biasanya menyimpan hiruk pikuk kehidupan, pagi itu seolah masih mengumpulkan tenaga untuk mulai bernafas.
Entahlah, warga Taiping ke mana pagi-pagi begini?
Perhatianku kemudian tertarik pada dua lapak apem, kue khas masyarakat India, yang berdiri saling berhadapan.
Jualannya sama, bentuknya serupa, namun harganya berbeda.
Dalam hati aku bertanya, bagaimana caranya dua pedagang menawarkan barang yang sama, di tempat yang sama, tapi dengan harga tak serupa?
Dan, yang lebih menarik, apakah yang lebih mahal itu tetap punya pembelinya?
Aku tak paham, karena aku tak tahu omzet mereka mana yang lebih besar.
Namun selayang pandangku kedua lapak ini tetap ada pengunjung setia.
Meskipun sama bersaing dari harga, rasa dan cerita dari balik dapur, kedua lapak tetap memiliki pelanggan setia.***









Posting Komentar