Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Apa yang sebenarnya menarik dari kota Taiping, Perak?
Apakah kekunoan kotanya, dengan bangunan dan arsitektur peninggalan zaman kolonial?
Atau makanannya yang menjadi pertemuan tiga budaya, Melayu, India, dan China?
Mungkin juga anginnya yang sejuk, datang dari pegunungan yang menyambut kota.
Atau hujannya yang kerap turun, membuat jalanan basah, udara bersih, dan suasana terasa lebih hidup dari biasanya.
Taiping bukan hanya sebuah kota, ia adalah percampuran sejarah, cuaca, rasa, dan ketenangan yang jarang kita temui di tempat lain.
Mungkin itu sebabnya banyak orang menyukainya, seolah-olah kota ini santai, tetapi tidak pernah mati.
Hujan rintik-rintik sering mengingatkan orang untuk duduk manis di rumah dan berdiam diri.
Namun Taiping justru melakukan sebaliknya, ia mengundang orang keluar, berjalan santai di bawah langit kelabu, mencium aroma kopi yang sedap dari kedai tua, mencicipi jajanan ringan yang tak mengenyangkan tetapi menghibur, dan menikmati cerita bersama keluarga, sahabat, dan kerabat.
Di Taiping, hujan bukan alasan untuk berhenti. Ia adalah alasan untuk hidup sedikit lebih pelan dan sedikit lebih bervariasi.
Pada pagi yang sepi itu, aku berjalan di teras rumah-rumah kedai tua, menelusuri lorong-lorong dengan lantai basah yang memantulkan cahaya langit.
Tujuanku sederhana, sekadar cuci mata sambil mencari secangkir kopi panas dan sarapan di salah satu kopitiam yang masih setia membuka kisah kota ini setiap hari.
Ada dua kopitiam yang menjadi pilihanku. Kata orang, kedua kedai kopi itu punya nilai sejarah yang panjang; tempat di mana warga duduk setiap pagi sambil ngerumpi sejak zaman dulu.
Kadang berita menyebar bukan dari koran atau radio, tetapi dari mulut ke mulut, lengkap dengan bumbu yang ditambah, dikurangi, atau diputar sedikit sesuai selera penceritanya, ibarat pendongeng yang ulung.
Yang membuatku tersenyum, di tengah lorong kota tua itu aku berpapasan dengan penjaja koran.
Yang satu mengayuh sepeda jadul, sementara satunya lagi menggelar surat kabar di lapak kecil di pinggir jalan.
Rasanya seperti adegan yang tak seharusnya masih ada di zaman internet serba cepat ini.
Tapi mungkin begitulah Taiping, ia menyimpan waktu, dan membiarkan kita menikmati detik-detik yang nyaris hilang dari kota-kota lain.
Dan di momen itulah aku tersadar, Taiping tidak hanya membuatku melihat kota, tetapi juga membuatku melihat kembali diriku sendiri.
Kota ini membawa pikiranku melayang pada masa lalu, masa sekolah-sekolahan, masa bergelut dengan pekerjaan pertama, masa mengejar karier dan cita-cita.
Meskipun banyak yang telah tercapai, banyak pula yang masih menetap di sudut hati.
Taiping, entah bagaimana, mampu membuka kenangan-kenangan itu dengan lembut.
Seolah hujan, kopi, dan kota tua bersekongkol untuk mengingatkan bahwa perjalanan hidup bukan hanya tentang sampai ke tujuan, tetapi juga tentang ruang-ruang kecil yang membuat kita berhenti sejenak dan tersenyum simpul.***












إرسال تعليق