Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Pariwisata di Tiongkok kini tengah digalakkan besar-besaran.
Pemerintah berupaya menarik sebanyak mungkin wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Beragam kebijakan diterapkan, mulai dari pemberian subsidi untuk paket wisata hingga pembangunan infrastruktur yang masif.
Jalan-jalan baru dibuka, membelah pegunungan dan hutan demi memudahkan akses menuju berbagai destinasi wisata.
Salah satu fokus pengembangan tersebut adalah wilayah Xinjiang Selatan (Nanjiang).
Dengan kekayaan alamnya yang unik, budaya Uighur yang khas, serta lanskap gurun dan pegunungan yang menakjubkan, kawasan ini kini dipromosikan sebagai destinasi eksotis di barat Tiongkok.
Berbeda dengan Xinjiang Utara (Beijiang) yang terkenal dengan pegunungan, danau biru, serta padang rumput hijau yang luas, Xinjiang Selatan lebih menonjolkan panorama hutan, pegunungan tandus, padang pasir, dan budaya Uighur yang kental.
Kedua wilayah tersebut memiliki pesona dan keunikan masing-masing.
Kali ini aku mencoba menyusuri beberapa lokasi yang dianggap eksotis di Xinjiang Selatan.
Salah satunya adalah Hutan Hu Yang (Huyang Lin) di Kuqa, yang belakangan menjadi kebanggaan para TikToker, YouTuber, dan Instagramer.
Mereka tampil layaknya aktor dan aktris di alam terbuka, berpose di berbagai sudut hutan untuk menghasilkan foto-foto menawan.
Beberapa bahkan menyewa fotografer profesional demi mendapatkan sudut terbaik, menghadap batang-batang pohon Hu Yang yang menjulang, meskipun tak banyak memiliki bunga.
Beragam penampilan menarik tersorot kamera dan segera diunggah ke media sosial, dengan tujuan utama menarik sebanyak mungkin pengikut.
Bagiku, Hutan Hu Yang yang menguning sebenarnya hanyalah pertanda pergantian musim dari musim panas ke musim gugur.
Secara alami, daun-daun kuning itu akan perlahan rontok, menyisakan batang dan ranting pohon yang tetap berdiri gagah di tengah perubahan waktu.
Aku pun tak lupa mampir ke lokasi yang disebut Lembah Merah, yang oleh orang Xinjiang kerap dibandingkan dengan Grand Canyon di Arizona, Amerika Serikat.
Mirip atau hanya serupa, aku tak bisa memastikan. Lembah di Xinjiang, tepatnya di Alar, ini memang indah, meski skalanya jauh lebih kecil dibandingkan Grand Canyon yang pernah kulihat dari helikopter.
Di sini, aku hanya berjalan kaki sejauh yang mampu, sementara kereta listrik kecil membawa para wisatawan menuju area batu-batuan yang mereka sukai.
Perjalanan kemudian berlanjut ke arah Hotan, gurun yang seolah tak pernah luput dari agenda agen-agen tur di Tiongkok.
Sekilas, padang pasir ini hanya tampak sebagai hamparan luas tanah berpasir putih yang gersang dan sepi.
Namun bagi para fotografer, tempat ini justru menjadi panggung eksotis semacam “mini Gobi” versi Xinjiang, tempat warna langit dan pasir berpadu dalam kontras yang menakjubkan.
Dari Hotan aku melanjutkan perjalanan ke Kashgar, mungkin kota yang paling berkesan bagiku.
Di sinilah denyut budaya Uighur terasa paling kuat. Aku melihat nang, roti khas Uighur, dijajakan di pasar-pasar ukurannya bisa sebesar roda kereta mainan anak-anak.
Di sudut lain, aroma sate kambing menggoda hidung, dengan tusuk besi yang besar dan panjang, mungkin sebesar tali jemuran.
Aku tak bisa membayangkan berapa banyak potongan daging yang ditusuk, dan bagaimana orang bisa menghabiskannya dalam sekejap mata.
Tapi dari semua itu, kota tua Kashgar punya pesona tersendiri: suasananya santai, hangat, dan aromanya daging panggang yang menggoda bisa membuat siapa pun betah berlama-lama. Siapa tahu?***




















Posting Komentar