Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku terkesan dengan kota tua, Kashgar, di Xinjiang Selatan, Tiongkok.
Bukan karena cuacanya yang sejuk pada bulan Oktober, pun bukan karena makanan dagingnya yang lezat, melainkan karena kota tua Kashi yang begitu memesona, terutama di pagi dan malam hari.
Pada pagi hari, sekitar pukul 10.30, pintu gerbang kota tua telah siap menyambut para pelancong lokal dan mancanegara untuk menyaksikan upacara pembukaan gerbang.
Bagi wisatawan, acara ini menarik karena menampilkan hiburan dan kisah masa lalu dari zaman kuno.
Tidak hanya kostum dan tarian tradisional yang menawan, tetapi juga cerita perjalanan Jalur Sutra, ketika para pedagang dahulu bertukar informasi, barang, dan uang dari Asia hingga Eropa.
Selain itu, kota Kashi sendiri, dengan bangunan-bangunan tuanya dan dekorasi bebatuan yang menghiasi arsitektur kuno, memperlihatkan bagaimana kehidupan orang Uyghur pada masa lampau.
Secara genetik dan budaya, orang Uyghur berbeda dengan orang Han, Tiongkok, baik dari segi fisik, pakaian, maupun tradisi.
Orang Han memakai pakaian longgar tanpa kancing, disatukan dengan sabuk, dengan potongan yang sederhana dan ringan.
Sementara itu, suku Uyghur mengenakan pakaian berlengan panjang, sering dilengkapi rompi dan bordir berwarna-warni, merah, kuning, hijau, cokelat, dan biru.
Bahasa mereka pun berbeda: satu menggunakan bahasa dari rumpun Turkik, dan yang lain berbicara dalam bahasa Mandarin.
Namun demikian, komunikasi di antara mereka tetap lancar, meskipun masing-masing memakai bahasa suku sendiri.
Perbedaan juga tampak dalam hal agama yang satu memeluk Islam, sedangkan yang lain menganut Buddha atau Konfusianisme.
Namun, mereka bersatu padu dalam membangun kota Kashgar, tanpa menengok perbedaan lama. Yang terpenting, kota budaya Kashi kini menjadi primadona Kashgar, tempat tradisi dan kehidupan berpadu dalam harmoni.***
Posting Komentar