Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Musik bukan sekadar didengar, tapi dinikmati.
Bagi sebagian orang, musik hanyalah hobi; namun bagi sebagian lainnya, dentuman irama yang mengguncang bisa membuat hati tergetar.
Mereka larut dalam suasana, ikut merasakan, berpesta pora bersama nada.
Aku sempat bingung saat tiba di Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia. Kata tour leader kami, Nina, saat itu sedang berlangsung festival tahunan yang besar—perayaan budaya yang konon menghidupkan kembali kejayaan bangsa Mongol: kehidupan nomaden, keperkasaan Genghis Khan, dan semangat leluhur yang tetap menyala hingga kini.
Festival itu bernama Naadam, katanya.
Namun yang kulihat justru sebaliknya. Jalanan kota tampak tenang, bahkan nyaris hening dari pagi hingga malam.
Tak ada tanda-tanda kemeriahan: tak terdengar dentuman musik, tak terlihat arak-arakan, tak ada keramaian di alun-alun kota.
Hanya lalu-lalang kendaraan dan warga lokal yang beraktivitas seperti biasa.
Aku mulai bertanya-tanya: benarkah ada pesta seperti yang diceritakan? Ataukah aku hanya tidak tahu ke mana harus melangkah untuk menemukannya?
Ternyata, Naadam memang diadakan setiap pertengahan Juli, tapi bukan di pusat kota—melainkan di stadion besar atau padang luar kota. Di situlah perayaan sesungguhnya berlangsung.
Naadam bukan sekadar festival; ia adalah wajah kebanggaan Mongolia, bagian tak terpisahkan dari jiwa rakyatnya.
Ada balap kuda yang menguji kecepatan dan daya tahan, dan pertandingan gulat khas Mongolia—mirip sumo, tapi dengan filosofi dan keheningan yang berbeda.
Arena penuh sesak oleh penonton dari berbagai penjuru, sebagian berdiri, sebagian duduk tenang, menyaksikan dengan mata berbinar.
Aku sempat berbincang dengan seorang warga lokal yang begitu bangga menceritakan tentang Naadam.
Di sebuah warung kecil, TV menyiarkan pertandingan secara langsung dengan volume tinggi.
Namun satu hal membuatku terdiam—pertandingan belum dimulai, tapi para pegulat sudah saling bertatapan lama, berpelukan, dan berbisik pelan.
Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin melepas rindu. Mungkin membaca lawan. Mungkin sedang berdamai dengan diri.
Waktu terasa lambat. Detik berjalan perlahan, seolah memberi ruang bagi mereka untuk mempersiapkan bukan hanya tubuh, tapi juga hati.
Aku akhirnya tak jadi menyaksikan festival itu secara langsung, meskipun Nina menawarkan tiket di hari terakhir.
Bukan karena tak ingin melihat budaya yang berbeda, kostum yang berbeda, atau wajah-wajah asing yang gagah. Tapi satu kalimat dari Nina membuatku lunglai—“Hari ini cuma penutupan saja.” Tak ada perlombaan, tak ada kemeriahan.
Hanya seremoni formal di stadion besar. Meski katanya Presiden akan hadir, aku tahu yang kutemukan bukan lagi denyut utama dari Naadam.
Aku datang terlalu lambat. Pesta sudah hampir usai, dan aku hanya berdiri di pinggir, menyaksikan bayangannya memudar.***
إرسال تعليق