Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Tiada jalan yang tak mungkin tiada akhir. Setiap masa pasti punya ceritanya.
Tak ada perjalanan yang berjalan selamanya. Pada waktunya, kita tetap akan kembali .
Tak ada yang abadi tanpa jeda, tanpa ujung, tanpa batas.
Waktu datang silih berganti. Kita sebagai pengelana tentu menyimpan kesan dan membawa pulang pesan.
Ada hal baru yang diraih, dan yang lama—belum tentu ditinggalkan.
Aku belajar hal-hal yang tak diajarkan dalam buku, tak dibicarakan dalam seminar, atau bahkan oleh perjalanan hidupku sendiri.
Hal-hal tak biasa justru datang dari senyap angin, dari langit luas, dari tenda sederhana, dari jam-jam dinding yang hanya diisi suara bisu.
Dan dalam bisu itu, aku mulai melepaskan—meninggalkan hal-hal yang tak lagi berguna.
Barangkali prasangka. Barangkali ambisi yang tak perlu. Barangkali kebisingan yang dulu dianggap penting.
Itulah pengalaman yang tak terduga, namun menetap dalam diriku—diam-diam, tapi mendalam.
Aku tak sungkan belajar dari yang mewah hingga yang sederhana. Hidup memang tak selalu memberi arah yang pasti.
Yang baik dan buruk akan selalu datang silih berganti. Di saat susah, tak perlu banyak mengeluh.
Di saat senang, tak perlu banyak komentar. Semua berjalan sebagaimana apa adanya.
Dalam perjalanan ini, banyak hikmah tersembunyi. Ada dan tiada menyatu dalam benak. Mongolia meninggalkan lebih dari sekadar jejak dan kenangan.
Ia memberi kesan yang dalam—tentang kesederhanaan, kekompakan, dan keberanian menatap masa depan.
Seperti langitnya yang terus berganti warna, begitu pula hidup. Tak pernah sama, tapi selalu terus berjalan.
Dan Mongolia, pada akhirnya, bukan hanya tempat yang kujelajahi, melainkan tanah yang dengan tenang, mengajarkan cara untuk pulang—ke rumah pilihanku.
Aku pun tak menyesal menjalani perjalanan ini. Meski tidak mudah, meski angin menusuk tulang sumsumku.
Kondisi jalan, bekal, dan jarak tak pernah kupikirkan terlebih dahulu.
Tapi aku tetap melangkah. Aku tabah.
Dan itulah, mungkin, kemenangan kecilku yang paling murni.***
Posting Komentar