Oleh: Iman Sjahputra
JAKARTA - Aku tak pernah lihat asap hitam mengepul-ngepul di udara. Hitam pekat dan membahana, seperti yang biasa melayang di atas kota-kota besar.
Di sini, sesekali hanya kulihat awan gelap menggelora di langit luas Mongolia. Tapi aku yakin itu bukan apa-apa—karena orang Mongol sudah anggap itu sudah biasa.
Mereka sering menghadapi awan yang berpindah-pindah. Kadang cepat, kadang perlahan.
Tak ada yang panik, tak ada yang memperhatikan langit dengan cemas.
Aku bertanya pada supir yang menemani perjalananku, hanya senyum sinis yang kudapat.
Ia tak menjawab, hanya mengangkat bahu. Seolah berkata: “Itu cuma awan. Tidak lebih.”
Mungkin dia benar. Mungkin aku yang terlalu banyak curiga. Terlalu terbiasa hidup di bawah langit yang tercemar, hingga setiap gumpalan gelap di angkasa membuatku salah sangka.
Di kota Jakarta, kita belajar takut pada udara. Karena tiap tarikan napas bisa jadi tarikan risiko—entah itu dari knalpot bis, mobil bekas, rokok, limbah pabrik, atau asap pembakaran sampah.
Itu biasa, Sudah jadi pemandangan dan makanan harian. Gelap, udara pengap, dan wajah-wajah yang tak lagi peduli.
Tak perlu kaget. Tak ada yang kaget. Langit hitam sudah jadi bagian dari rutinitas.
Kadang aku pikir itu awan hitam pertanda buruk. Hujan akan segera tiba.
Kadang pula aku mencoba menebak derajat kehitamannya, seolah-olah paham betul suasana yang akan datang, meskipun kadang salah.
“Ini pasti hujan besar,” dugaanku, karena langit tak beda dengan malam hari—gelap, pekat, seperti diselimuti arang berwarna hitam.
Tapi di sini, Mongol, aku belajar satu hal kecil yang terasa besar:
Gelap tak selalu berarti bahaya. Kadang, ia hanya lewat.
Seperti awan yang sedang berjalan. Hitam tak berarti kotor dan putih tak berarti bersih.
Ketika menatap langit Mongolia, perasaan bingung dan teka teki selalu akan menyapa ; Apa yang akan terjadi pada langit Mongolia?***
Posting Komentar